Rasulullah
bersabda, "Setiap keturunan anak Adam melakukan kesalahan, dan
sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah orang yang
bertaubat".(HR.Ath-Tirmidzi)
Tak
terbantahkan, semua manusia tidak akan luput dari kesalahan. Rasulullah
sendiri, manusia paling mulia dan terbebas dari dosa, tak luput dari
melakukan kesalahan. Karena itulah kita melihat dalam Al-Qur'an beberapa
ayat yang merupakan teguran dari Allah kepada Rasul-Nya yang terkasih.
Semua orang, terlebih lagi seorang dai, guru, atau pendidik, mesti
memahami fakta ini sebaik-baiknya. Dengan begitu, ia tidak berharap
bahwa seseorang harus menjadi sempurna, bebas dari kesalahan. Ia tidak
akan sembarang menghakimi orang yang melakukan kesalahan. Jika kita
memahami bahwa manusia tak luput dari kesalahan, kita tidak akan
bertindak sekehendak hati dan mengharapkan seseorang bertindak sesuai
dengan keinginan kita. Selain itu, kita tidak akan mudah memvonis bahwa
seseorang telah gagal atau bodoh karena melakukan kesalahan. Ketika
menghadapi seseorang yang melakukan kesalahan, kita harus bersikap
realistis, melihat latar belakang pribadinya dan menyadari bahwa manusia
tak luput dari kesalahan. Manusia adalah makhluk lemah, bodoh, lalai,
suka bertingkah, pelupa, dan cenderung mengikuti hawa nafsu.
Dengan
pemahaman seperti itu, seorang pendidik tidak akan terkejut ketika
mendapati begitu beragam kesalahan yang dilakukan orang-orang. Kesadaran
itu akan mengendalikan dirinya untuk tidak berbuat sekehendak hati atau
menegur seseorang secara serampangan. Jika seorang dai atau pendidik
memahami bahwa setiap orang mungkin melakukan kesalahan, ia akan
menghadapi seseorang dengan cara yang bijak dan santun. Ia sadar,
dirinya pun mungkin melakukan kesalahan. Ia tidak akan memilih cara-cara
yang kasar ketika berusaha meluruskan orang lain dari kesalahan. Ia
tidak akan menyalahkan atau merendahkan orang yang berbuat kesalahan.
Meskipun melakukan kesalahan merupakan kodrat alami manusia, tak berarti
kita harus membiarkan seseorang melakukan kesalahan, atau memaafkan
orang yang berbuat dosa atas dasar bahwa ia hanyalah manusia biasa atau
bahwa ia masih muda, atau bahwa era modern sarat dengan godaan dan bujuk
rayu, dan lain-lain. Meskipun manusia adalah tempatnya salah dan lupa,
kita tetap harus mencela keburukan atau kejahatan yang dilakukan
seseorang; kita harus menegur dan meluruskan kesalahan yang dilakukan
seseorang.
Namun,
kita tak bisa secara serampangan menuduh atau mengatakan seseorang
melakukan kesalahan. Pernyataan bahwa seseorang telah bersalah harus
didasarkan atas bukti-bukti syariat dan pemahaman yang benar, bukan atas
dasar ketidaktahuan atau atas dasar pikiran bahwa sesuatu yang terjadi
tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Muhammad ibn al-Mun-kadir
meriwayatkan bahwa Jabir melaksanakan shalat hanya mengenakan sehelai
sarung yang diikatkan hingga punggungnya. Sementara pakaian-pakaiannya
yang lain tergantung dicantelan. Seseorang bertanya kepadanya, "mengapa
engkau melaksanakan shalat dengan hanya mengenakan sehelai sarung?"
Ia
menjawab, "aku melakukannya agar orang bodoh sepertimu melihatku:
siapakah diantara kita yang punya 2 pakaian pada masa Rasulullah SAW?"
Ibn
Hajar r.a berkata, "orang bodoh yang dimaksudkan disana adalah orang
yang tidak tahu. Ungkapannya itu dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa
tindakan seperti itu diperbolehkan. Shalat dapat dilakukan dengan hanya
mengenakan satu helai pakaian meskipun akan lebih baik jika mengenakan 2
helai pakaian. Seakan-akan Jabir ingin mengatakan, 'kulakukan ini untuk
menunjukkan bahwa tindakan seperti ini diperbolehkan. Dengan begitu,
orang-orang yang tidak tahu bisa mengikuti tindakanku ini atau ia bisa
menegurku dan kemudian kusampaikan kepadanya bahwa hal ini
diperbolehkan'. Jabir memberikan jawaban yang cukup keras untuk
mengajari mereka agar tidak menyerang para ulama dan untuk membantu
mereka agar bisa menjalankan syariat secara seksama sesuai dengan
ketentuan.(HR.Al-Bukhari)
Upaya
mengoreksi kesalahan seseorang tentu saja dilakukan secara berbeda
sesuai dengan kepribadian orang itu dan tingkat kesalahan yang
dilakukannya. Kesalahan berat atau penyimpangan serius harus ditangani
secara lebih keras dan lebih serius. Contohnya, upaya meluruskan
kesalahan aqidah harus lebih serius dibanding kesalahan etika. Jika kita
menelaah hadist-hadist Nabi secara seksama, kita akan melihat betapa
Rasulullah SAW sangat memperhatikan upaya untuk menegur dan meluruskan
kesalahan yang dilakukan seseorang. Mislanya, al-Mugirah ibn Syu'bah
berkata :
"Setelah
putra Rasulullah, Ibrahim, meninggal dan dikuburkan, tiba-tiba terjadi
gerhana matahari. Sebagian orang mengatakan, 'gerhana matahari ini
terjadi karena kematian Ibrahim'.
Ucapan
itu sampai ke telinga Nabi. Maka, Nabi bersama semua orang yang hadir
bangkit mendirikan shalat gerhana, lalu berkhutbah, 'sesungguhnya
matahari dan bulan merupakan 2 tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah.
Keduanya tidak tenggelam(gerhana) karena kematian seseorang. Jika kalian
melihat gerhana, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, ucapkanlah
shalawat, dan bersedekah".(HR.Al-Bukhari)
Abu
Waqid al-Laitsi meriwayatkan bahwa ketika pergi ke Hunain, Rasulullah
SAW melewati sebatang pohon milik kaum musyrik yang disebut Zatu Anwat.
Pohon itu dipergunakan untuk menggantungkan senjata mereka. Sebagian
sahabat berkata,"wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami seperti Zatu
Anwat yang mereka miliki". Rasulullah SAW bersabda, "maha suci Allah!
Permintaan kalian ini seperti kaum Musa yang meminta agar dibuatkan
tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan. demi zat yang menguasai
jiwaku, kalian akan mengikuti cara-cara umat yang datang sebelum
kalian.(HR.Al-Tirmidzi)
Menurut
riwayat lain, para sahabat pergi dari Mekkah bersama Rasulullah menuju
Hunain. Ditengah perjalanan, ketika mereka beristirahat, Rasulullah SAW
bersabda, "orang-orang kafir memiliki sebatang pohon yang mereka sembah
dan mereka pergunakan untuk menggantungkan senjata. Pohon itu disebut
Zatu Anwat".
Kemudian,
ketika mereka melewati pohon seperti pohon Zatu Anwat, sebagian sahabat
berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebuah pohon
sebagaimana mereka memiliki Zatu Anwat".
Rasulullah
SAW bersabda, "maha suci Allah! Permintaan kalian ini seperti kaum Musa
yang meminta agar dibuatkan tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak
tuhan. Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh. Permintaan
kalian itu sama saja dengan permintaan kaum Musa dan sedikit demi
sedikit kalian mengikuti cara-cara umat yang datang sebelum
kalian".(HR.Ahmad)
Zaid
ibn Khalid al-Juhani menuturkan, "Rasulullah SAW memimpin shalat Subuh
(Fajr) di Hudaibiyah setelah pada malam harinya turun hujan. Usai
shalat, Rasulullah berpaling menatap orang-orang dan bertanya, 'tahukah
kalian apa yang baru saja difirmankan Tuhan kalian?' Mereka menjawab,
'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui'. Rasulullah bersabda, 'pagi ini
salah seorang hamba-Ku beriman kepada-Ku, dan seroang lainnya
mengingkari-Ku. Orang yang pagi ini mengatakan bahwa hujan ini turun
karena kasih sayang dan anugerah Allah, berari ia beriman kepada-Ku dan
mengingkari bintang-bintang. sementara orang yang mengatakan bahwa hujan
ini turun karena bintang tertentu maka ia telah mengingkari-Ku dan
beriman kepada bintang-bintang".(HR.Al-Bukhari)
Ibn
Abbas meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah, "wahai
Rasulullah, kuikuti apapun yang Allah dan Engkau inginkan".
Rasulullah
menegurnya dan berkata, "apakah kau menganggapku setara dengan Allah?
Alih-alih berkata seperti itu, katakanlah : kuikuti apapun yang Allah
kehendaki".(HR.Ahmad)
Ibn
Umar r.a meriwayatkan bahwa suatu ketika ia berada diantara Umar ibn
al-Khathab dan beberapa sahabat lainnya dan ia mendengarnya bersumpah
atas nama ayahnya. Muhammad SAW menyeru mereka dan mengatakan bahwa
Allah melarang mereka bersumpah atas nama ayah atau leluhur mereka. Jika
seseorang ingin mengucapkan sumpah, bersumpahlah atas nama Allah, atau
jangan bersumpah.(HR.Al-bukhari)
Sementara
dalam riwayat lain, dari Imam Ahmad dari Imam Waki dari Al-A'masy,
bahwa sa'd ibn Ubaidah berkata, "aku sedang bersama Ibn Umar dan
sekelompok orang lainnya. Kami mendengar seseorang berkata, 'tidak, aku
bersumpah atas nama ayahku'. Mendengar ucapannya itu, ibn Umar melempar
orang itu dengan kerikil dan berkata, "sumpahmu itu seperti sumpah yang
biasa diucapkan oleh umar, namun Rasulullah melarangnya bersumpah
seperti itu dan menyebutnya sebagai perbuatan syirik".
Abu
syuraih Hani Ibn Yazid menuturkan bahwa sekelompok orang mendatangi
Nabi Muhammad SAW dan ia mendengar mereka memanggil salah seorang
diantara mereka dengan panggilan Abdul Hajar (budak batu). Rasulullah
bertanya kepada orang itu, "siapakah namamu?"
Ia menjawab, "Abdul Hajar".
Rasulullah SAW bersabda, "bukan itu namamu. Namamu adalah Abdullah". (HR.Al-bukhari)
Selain
itu, ketika hendak menegur atau meluruskan kesalahan yang dilakukann
seseorang, kita harus mempertimbangkan posisi atau kedudukan kita dan
kedudukan orang itu. Sebab, nasihat seseorang mungkin akan lebih
diterima daripada nasihat orang lain karena perbedaan status sosial,
perbedaan usia, kedudukan, atau perbedaan otoritas tehadap orang yang
ditegur atau diberi nasihat. Sebagai contoh, seseorang mungkin akan
lebih mendengar nasihat ayahnya, atau gurunya, atau atasannya dibanding
nasihat orang lain yang tidak memiliki hubungan dengannya atau yang
tidak otoritas atas dirinya. Dengan memahami perbedaan-perbedaan seperti
itu, seorang dai atau pendidik bisa memilih cara-cara atau ucapan yang
lebih baik dan lebih efektif untuk menegur orang itu sehingga ia tidak
larut dalam kesalahannya atau melakukan kesalahan lain yang lebih berat.
Kedudukan seseorang yang menasihati dan kehormatan orang yang ditegur
akan memengaruhi proses penyadaran. Berkaitan dengan kedudukan atau
otoritas yang dimiliki seseorang ada 2 hal yang harus diperhatikan :
PERTAMA.
Orang
yang mendapat anugerahdari Allah berupa status sosial atau kewenangan
atas orang lain harus mempergunakan kedudukan dan otoritasnya itu untuk
menyeru kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, serta untuk mengajari
orang-orang. Ia harus memahami bahwa ia memiliki tanggung jawab yang
sangat besar karena masyarakat secara umum lebih menerima nasihat
darinya dibanding orang lain.
KEDUA.
Seseorang
yang menyeru kepada kebaikan dan melarang kejahatan harus bersikap
hati-hati dan bijaksana sehingga ia tidak salah menilai situasi atau
menganggap dirinya sebagai orang yang lebih tinggi atau lebih berilmu
dibanding orang lain. Sikap sombong seperti itu tidak akan bisa
menyadarkan orang yang melakukan kesalahan. Alih-alih membuat sadar
orang lain, sikapnya itu hanya akan membuat orang-orang membenci dan
menjauhinya.
Nabi
Muhammad SAW dianugerahi kedudukan mulia. Kadang-kadang beliau
memosisikan diri sebagai Nabi yang mulia ketika menegur atau mengajari
umat. Sebagai contoh, kadang-kadang ia melakukan sesuatu yang jika
dilakukan orang lain akan dianggap sebagai perbuatan yang tidak pantas.
Misalnya, Ya'isy ibn Tiflah Al-Ghifari meriwayatkan dari ayahnya bahwa
suatu ketika ia bertamu kerumah Rasulullah. Selain aku, ada juga seorang
fakir yang menjadi tamu. Saat malam tiba, Rasulullah keluar melihat
keadaan tamu-tamunya dan ia melihatku sedang terbaring dalam keadaan
tengkurap. Ia menendangku dan berkata, "jangan terbaring seperti itu!
Itulah cara berbaring yang dibenci oleh Allah".
Menurut riwayat lain, "ia menendang dan membangunkanku, kemudian berkata, "seperti itulah cara berbaring ahli neraka".
Metode
seperti ini memang sesuai untuk Nabi SAW. Karena kedudukan dan
kemuliaannya, tetapi metode ini tidak sesuai untuk orang-orang pada
umumnya. Menegur seseorang yang sedang tidur tengkurap dengan cara
menendangnya tentu bukan teknik yang pantas dilakukan oleh kebanyakan
orang. Bagaimana mungkin kita berharap orang yang sedang tidur lalu kita
tendang itu mau menerima nasihat atau teguran kita? Tidak mungkin,
apalagi berharap ia akan berterima kasih. Sama halnya, cara yang
dilakukan Ibn Umar dengan melemparkan kerikil ketika menegur seseorang,
mungkin tidak akan efektif jika kita yang melakukannya. Nabi dan
beberapa sahabat melakukan cara seperti itu karena cara itu sesuai
dengan kedudukan dan kemuliaan mereka. Orang yang mereka tegur tidak
akan merasa tersinggung apalagi sakit hati. Contoh yang lain, Al-Darimi
r.a meriwayatkan dari Sulaiman ibn Yasir bahwa seseorang bernama Sabigh
pergi ke madinah dan mulai menanyakan beberapa ayat Al-Qur'an yang
membingungkan. Umar memanggilnya dan ia terlihat menyiapkan beberapa
ranting kurma. Umar bertanya kepadanya, "siapakah kamu?"
Ia menjawab, "aku hamba Allah, Sabigh".
Umar mengambil sebuah ranting dan kemudian memukulkannya kepada Sabigh seraya berkata, "aku hamba Allah, Umar".
Ia
terus memukulinya sampai kepalanya mulai berdarah dan ia berkata,
"Wahai Amirul Mukminin, cukup! Pikiran itu telah menguap dari benakku".
Al-Bukhari
r.a meriwayatkan bahwa ibn Abi Laila berkata, "Hudzaifah tiba di
al-Mada'in dan ia meminta segelas minuman. Seorang bangsawan memberinya
minuman dengan gelas dari perak. Hudzaifah melemparkan gelas itu dan
berkata, 'sebenarnya aku tak mau melemparkan gelas itu. Aku telah bilang
kepadanya untuk tidak memberikan gelas itu namun ia bersikukuh. Nabi
Muhammad SAW melarang kita mengenakan sutra dan pakaian mewah, serta
melarang kita minum dengan gelas atau cangkir yang terbuat dari emas
atau perak. Rasulullah mengatakan bahwa semua itu merupakan bagian
mereka didunia dan bagian kita di akhirat". (HR.Al-Bukhari)
Masih
tentang peristiwa itu, Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdurrahman ibn Abi
Laila bahwa ia dan Hudzaifah pergi ke sebuah wilayah dan ia meminta
minum. Seorang bangsawan memberinya sebuah cangkir dari perak dan
Hudzaifah melemparkan cangkir itu kemukanya. Melihat itu kami berkata
satu sama lain, "lebih baik kita tenang dan diam. Jika kita bertanya
mengapa ia lakukan itu, mungkin ia takkan mau mengatakannya. Jadi, lebih
baik kita diam dan tenang".
Tidak lama berselang, Hudzaifah berkata, "tahukah kamu, mengapa kulemparkan cangkir itu kemukanya?"
Kami menjawab, "tidak".
"telah
kukatakan kepadanya agar tidak memberiku cangkir itu, tetapi ia
bersikukuh melakukannya. Aku melarangnya karena Rasulullah bersabda,
"janganlah minum dari cangkir yang terbuat dari emas".
Muaz
yang ada disana berkata, "janganlah minum dari cangkir emas dan perak
dan janganlah mengenakan sutra atau kain brukat yang mewah, karena semua
itu merupakan bagian mereka didunia dan bagian kalian di akhirat".
(HR.Imam Ahmad)
al-Bukhari
meriwayatkan bahwa sirin mendatangi Anas dan meminta kepadanya agar
membuatkan surat pembebasan budak karena ia sudah punya cukup uang untuk
menebus dirinya. Namun, Anas menolaknya sehingga Sirin menemui Umar r.a
yang kemudian menyuruh Anas untuk membuat surat pembebasan itu. Anas
tetap saja menolak sehingga Umar menghantamnya dengan cambuk seraya
membacakan ayat Al-Qur'an:
"Berikanlah
mereka (budak yang mencari kebebasan) tulisan (surat pembebasan) jika
kalian thau bahwa mereka adalah orang baik dan dapat dipercaya". (QS.
Al-Nur(24):33)
Barulah setelah itu Anas mau membuatkan surat pembebasan itu".(HR.Al-Bukhari)
Al-Nasa'i
meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa ia sedang melaksanakan
shalat ketika salah seorang anak Marwan tiba-tiba berjalan dihadapannya.
Ia berusaha mencegahnya, namun anak itu tak mau kembali sehingga ia
memukulnya. Anak itu pergi sambil menangis dan mengadukan apa yang
terjadi kepada ayahnya. Marwan segera menemui Abu Sa'id dan bertanya,
"mengapa kau memukul anak saudaramu?"
Ia
menjawab, "aku tidak memukul anak itu. Aku memukul setan. Aku pernah
mendengar Rasulullah bersabda, "jika salah seorang diantara kalian
sedang melaksanakan shalat dan tiba-tiba seseorang hendak lewat
didepanmu maka hentikanlah ia sebisamu. Jika ia menolak, pukullah karena
ia adalah setan". (Shahih Sunan Al-Nasa'i)
Ahmad
r.a meriwayatkan dari Abu Al-Nadr bahwa Abu Sa'id al-Khudri sedang
kesakitan karena salah satu kakinya terluka. Salah seorang saudaranya
datang dan melihatnya duduk dengan kaki menyilang. Tiba-tiba ia memukul
kaki Abu Sa'id yang terluka sehingga ia berteriak kesakitan. Abu Sa'id
berkata, "kau melukai kakiku! Tidakkah kau tahu bahwa kaki ini terluka?"
Ia menjawab, "tentu saja aku tahu".
"Lalu mengapa kau memukulnya?"
"Tidakkah kau mendengar bahwa Muhammad melarang kita duduk seperti itu?" (HR.Imam Ahmad)
Malik
meriwayatkan dari Abu Zubair bahwa seorang pria menemui seseorang dan
melamar adik orang itu untuk ia nikahi. Namun, laki-laki itu mengatakan
kepadanya bahwa adiknya telah berzina. Berita itu sampai ke telinga Umar
ibn Al-Khatthab sehingga ia memukul laki-laki itu dan berkata, "mengapa
kau memberitahunya?"
Imam
Muslim meriwayatkan dari abu Ishaq bahwa suatu ketika ia
berbincang-bincang dengan al-Aswad ibn Yazid dan al-Sya'bi di Masjidil
Haram. Al-Sya'bi mengatakan bahwa ia mendengar Fatimah bin Qais
berbicara tentang Rasulullah SAW yang tidak menyediakan rumah atau
nafkah kepadanya. Al-Aswad mengambil segenggam kerikil yang kemudian
dilemparkan kepada Al-Sya'bi seraya berkata, "Celakalah kau! Kau
membicarakan keburukan seperti ini? Umar mengatakan bahwa kita
seharusnya tidak meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi untuk omongan
seorang perempuan ynag tak kita tahu apakah ia bisa mengingat dengan
baik atau tidak. Sesungguhnya kaum wanita berhak atas rumah dan nafkah.
Allah berfirman,'janganlah kalian keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan yang
keji dan terlarang".QS.Al-Talaq[65]:1
Abu
Dawud meriwayatkan dengan sanad yang diterima bahwa 2 laki-laki datang
dari arah Kindah. Mereka bertemu dengan Abu Mas'ud al-Anshari yang
sedang duduk dalam halaqah taklim. Salah seorang dari dua laki-laki itu
bertanya, "adakah seseorang yang bisa memutuskan suatu perkara diantara
kami?" Tiba-tiba seorang laki-laki di halaqah itu menjawab, "aku akan
menjadi penengah diantara kalian". Abu Mas'ud mengambil segenggam
kerikil dan melemparkannya kepada laki-laki itu seraya berkata,
"Diamlah! Terburu-buru menghakimi bukanlah tindakan yang baik".HR.Abu
Dawud
Jika
kita perhatikan, kadang-kadang Nabi SAW menegur sahabat-sahabat
dekatnya dengan cara yang lebih keras dibanding ketika menegur seorang
badui atau seorang asing yang tak tahu adat. Kendati demikian, para
sahabat yang ditegur tidak merasa tersinggung atau sakit hati karena
Nabi SAW melakukannya dengan penuh pertimbangan dan kebijaksanaan.
Dengan cara itu, tegurannya bekerja efektif dan tidak menyinggung
perasaan orang yang ditegurnya.
Ketika
hendak menegur, kita harus memperhatikan siapa orang yang kita tegur.
Menegur seseorang yang melakukan kesalahan karena tidak tahu tentu
berbeda caranya dengan menegur orang yang tahu tetapi sengaja berbuat
salah. Riwayat berikut ini menuturkan dengan jelas apa yang terjadi pada
Muawiyah ibn Al-Hakam al-Salami ketika ia datang ke Madinah setelah
melewati padang pasir. Ia tidak tahu bahwa ketika mendirikan shalat,
seseorang tak boleh bicara. Berikut ini penuturannya secara lengkap :
"Ketika
aku melaksanakan shalat dibelakang Rasulullah, seseorang bersin
sehingga aku berucap Yarhamukallaah--semoga Allah mengasihimu.
Orang-orang disekitarku berpaling dan memelototiku. Aku bertanya, 'ada
apa ini? mengapa kalian melihatku dengan tatapan seperti itu? apa yang
salah denganku? Namun aku melihat mereka menepuk paha dan memberi
isyarat agar aku diam. Karena itu aku berhenti bicara. Selesai
mengerjakan shalat, Rasulullah SAW--ayah dan ibuku menjadi tebusan,
belum pernah aku melihat seorang guru yang lebih baik darinya tidak
langsung menegur, memukul atau mempermalukanku dihadapan para sahabat.
Rasulullah berkata singkat, "ketika melaksanakan shalat, seseorang tak
dibolehkan berbicara ; hanya tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur'an".
Shahih Muslim.
Orang
yang bodoh harus diberi tahu, orang yang ragu-ragu harus diberi
penjelasan, orang yang lalai perlu diperingatkan, dan orang keras kepala
yang mempertahankan kesalahannya harus diperingatkan. Menegur seseorang
yang mengetahui aturan harus dibedakan dengan menegur orang yang bodoh
dan tidak tahu apa-apa. Menegur seorang yang bodoh dengan cara yang
kasar hanya akan membuatnya merasa rendah diri. Ia tidak akan mengikuti
nasihat yang kita sampaikan. Kepada orang seperti itu kita harus
bersikap sopan, bijak, lembut, dan penuh pertimbangan. Ia melakukan
kesalahan bukan karena sengaja, melainkan karena tidak tahu. Jika kita
langsung menegur dan menyalahkan orang yang tidak tahu, mungkin ia akan
menjawab, "kenapa kau tidak mengajariku lebih dahulu sebelum
menyalahkanku?"
Orang
yang melakukan kesalahan karena tidak tahu mungkin berpikir bahwa ia
benar sehingga orang yang hendak menegur atau memberinya peringatan
harus bertindak bijak. Imam Ahmad r.a meriwayatkan dalam al-Musnad dari
al-Mughirah ibn Syu'bah bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menyantap
beberapa hidangan kemudian mendirikan shalat. Rasulullah telah berwudhu
sebelum menikmati hidangan itu sehingga ia tak perlu lagi berwudhu.
Al-Mughirah membawakan air kepadanya untuk berwudhu, namun Rasulullah
menolaknya dan berkata, "pergilah!"
Al-Mughirah
menemui Umar dan menceritakan pengalamannya seraya menyebutkan bahwa ia
merasa kecewa. Kemudian Umar menemui Rasulullah dan berkata, "wahai
Rasul, al-Mughirah merasa kecewa oleh penolakanmu. Ia khawatir engkau
marah kepadanya karena suatu alasan".
Rasulullah
SAW menjawab, "tidak apa-apa. Aku tidak marah. Ia membawakan air
kepadaku untuk berwudhu dan aku menolaknya, karena aku telah berwudhu
sebelum makan. Jika aku menerimanya dan kemudian berwudhu, tentu umat
akan meniru tindakanku". HR.Imam Ahmad.
Maksudnya, orang-orang yang melihatnya tentu akan berpikir bahwa setelah makan harus berwudhu kembali.
Teguran
dan peringatan yang disampaikan Rasulullah SAW kepada para sahabat
terkemuka itu tidak berdampak buruk. Mereka tidak merasa tersinggung,
sakit hati, apalagi kemudian menjauh dan menghindari Rasulullah.
Tindakan Rasulullah itu justru berakibat positif kepada para sahabat.
Ketika Rasulullah menegur atau memperingatkan dengan cara yang agak
keras, para sahabat justru merasa khawatir telah menyakiti hati
Rasulullah. Mereka akan terus bertanya-tanya sampai ada kepastian bahwa
Rasulullah merasa ridha dan tidak marah kepada mereka.
Dari
riwayat diatas, kita bisa memahami bahwa ketika Rasulullah SAW menegur
al-Mughirah, ia tidak marah kepadanya. Ia senantiasa mengingatkan dan
menjelaskan berbagai persoalan syariat secara gamblang kepada umatnya.
Nabi SAW tidak pernah memaksakan sesuatu kepada umatnya dan selalu
memberikan jalan yang paling mudah. Karena itulah ia mengajarkan kepada
umatnya agar mempermudah suatu urusan. Kewajiban syariat harus
dilaksanakan sesuai dengan kemampuan setiap orang.
Kita
juga harus membedakan penyikapan kita terhadap kesalahan yang
disebabkan oleh upaya untuk menemukan kebenaran (ijtihad) dan kesalahan
yang dilakukan secara serampangan, dilakukan secara sengaja, atau karena
tidak tahu. Orang yang melakukan kesalahan ketika berijtihad, ia tak
bisa disalahkan. Bahkan, ia akan mendapat satu pahala jika ijtihadnya
salah selama ijtihadnya dilandasi oleh niat yang tulus untuk mencari
kebenaran. Nabi Muhammad SAW bersabda, "jika seorang hali hukum berusaha
keras menghasilkan keputusan yang benar, dan keputusannya benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Jika keputusannya salah, ia mendapatkan satu
pahala".HR.Al-Tirmidzi.
Kasusnya
berbeda dengan orang yang melakukan kesalahan secara sengaja atau
karena tidak tahu. Dalam kasus yang pertama, orang itu harus ditegur dan
diperingatkan, sementara pada kasus kedua, ia harus diajari dan
dinasihati. Namun, tidak semua orang bisa berijtihad untuk mencapai
kesimpulan hukum. Kesalahan yang dilakukan dalam ijtihad bisa dimaafkan
jika memang orang itu layak dan memiliki kemampuan yang memadai untuk
berijtihad. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat
melakukan ijtihad atau memberikan fatwa hukum. Karena itulah Rasulullah
sangat mencela orang yang melakukan kesalahan ketika ada seseorang yang
terluka kepalanya. Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir r.a bahwa suatu
ketika Jabir dan beberapa sahabat pergi ke suatu tempat. Kepala salah
seorang diantara mereka terluka karena lemparan batu. Lukanya itu terus
mengeluarkan darah. Setelah beberapa lama ia jatuh tidur dan saat
bangun, ia merasa harus mandi wajib. Ia bertanya kepada kawan-kawannya,
"dengan luka yang kuderita ini, bolehkan aku bertayamum sebagai
pengganti mandi wajib?"
Teman-temannya
menjawab, "kami kira kau tidak berhak mendapat keringanan karena
disekitar kita masih ada air". Berdasarkan pendapat mereka, laki-laki
itu melakukan ghusl (mandi wajib), namun tak lama kemudian ia meninggal.
Ketika
Jabir dan para sahabat lain pulang ke Madinah, mereka segera menemui
Rasulullah dan menceritakan peristiwa tersebut. Mendengar penuturan
mereka, Rasulullah bersabda, "mereka telah membunuhnya. Mudah-mudahan
Allah membunuh mereka! Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu?!
Obat bagi orang yang tidak tahu adalah bertanya". Sunan Abi Dawud.
Dalam
riwayat lain Rasulullah menuturkan bahwa ada 3 kelompok hakim. Satu
diantara mereka masuk ke surga, dan dua lainnya masuk ke neraka. Hakim
yang akan masuk ke surga adalah yang mengetahui kebenaran dan memutuskan
suatu perkara sesuai dengan kebenaran yang diketahuinya itu. Orang yang
mengetahui kebenaran tetapi memutuskan perkara secara tak adil, dan
hakim yang memutuskan perkara tanpa mengetahui kebenarannya, niscaya
keduanya akan masuk ke neraka. Sunan Abi Dawud.
Hakim yang paling buruk adalah golongan yang ketiga, karena ia bodoh dan menyesatkan.
Faktor
lain yang perlu dipertimbangkan ketika menegur atau memperingatkan
seseorang yang melakukan kesalahan adalah lingkungan tempat orang itu
berbuat salah. Misalnya, kita harus memperhatikan apakah orang itu
melakukan kesalahan di lingkungan yang orang-orangnya taat mengikuti
sunnah, ataukah di lingkungan yang sarat dengan bid'ah. Kita juga harus
memperhatikan bagaimanakah peristiwa itu terjadi dan apa yang menjadi
penyebabnya ; apakah kesalahan itu dilakukan oleh orang biasa ataukah
orang terhormat yang pendapatnya didengar dan diikuti banyak orang.
Dengan begitu, kita bisa mencari cara dan teknik yang paling tepat untuk
menegur atau memperingatkan seseorang.
Siapapun,
baik orang terhormat maupun rakyat jelata, jika ia melakukan kesalahan,
ia pantas ditegur dan diperingatkan. Hanya saja, cara atau metode untuk
menegur masing-masing berbeda-beda. Bahkan, meskipun ada orang yang
melakukan kesalahan dan kelakuannya itu dilandasi dengan niat atau
tujuan yang baik, ia tetap harus ditegur.
Amr
ibn Yahya meriwayatkan dari ayahnya bahwa kakeknya bercerita, "suatu
ketika kamu berada didepan rumah Abdullah ibn Mas'ud menjelang waktu
subuh. Kemudian kami pergi bersama-sama menuju masjid. Ditengah
perjalanan, Abu Musa al-Anshari yang ikut bersama kami berkata, 'apakah
Abu Abdurrahman sudah datang?'
Kami menjawab, 'belum".
Ia
duduk bersama kami sampai ia (Abu Abdurrahman) muncul. Ketika ia
datang, kami berdiri menyambutnya dan Abu Musa berkata kepadanya, "wahai
Abu Abdurrahman, aku melihat di masjid sesuatu yang belum pernah
kulihat sebelumnya. Tetapi alhamdulillah, apa yang kulihat itu sesuatu
yang bagus".
Abu Abdurrahman bertanya, 'apakah yang kau lihat itu ?'
Ia
menjawab, 'jika kau menunggu beberapa saat, kau akan melihatnya
sendiri. Aku melihat orang-orang di masjid duduk dalam beberapa
lingkaran menunggu waktu shalat tiba. Pada setiap lingkaran itu ada
seorang laki-laki yang memimpin. Semua orang dalam lingkaran itu
menggenggam tasbih. Ketika pemimpin itu berkata, "ucapkanlah Allahu
Akbar seratus kali", semua orang yang ada dilingkaran mengucapkan Allahu
Akbar seratus kali. Ketika laki-laki itu berkata, "ucapkanlah La ilaha
Illallah seratus kali", mereka mengucapkan la ilaha illallah seratus
kali. Kemudian ia berujar, "ucapkanlah subhanallah seratus kali", dan
mereka mengucapkan subhanallah seratus kali'.
Abu Abdurrahman berkata, 'lalu apakah yang kau katakan kepada mereka?'
Abu
Musa menjawab, 'aku tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Justru saat
ini aku menunggu kedatanganmu untuk menyanyakan pendapatmu mengenai
mereka dan aku ingin tahu apa yang sebaiknya harus dilakukan?'
Abu
Abdurrahman berkata, 'mengapa tidak kau katakan kepada mereka agar
menghitung keburukan dan kesalahan mereka sehingga semua kebaikan yang
mereka lakukan tidak menjadi sia-sia?'
Kemudian
Abu Abdurrahman beranjak pergi menuju masjid dan kami mengikutinya.
Setibanya disana, ia melihat lingkaran orang-orang itu dan ia berdiri di
dekat mereka, lalu berkata, 'apakah yang sedang kalian kerjakan?'
Mereka menjawab, 'wahai Abu Abdurrahman, tasbih ini kami pergunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih kami'.
Abu
Abdurrahman berkata, 'hitunglah keburukan dan kesalahan kalian agar
perbuatan baik kalian tidak menjadi sia-sia. Celakalah kalian, wahai
umat Muhammad, betapa cepat kalian beranjak menuju kehancuran! Para
sahabat Muhammad masih hidup, pakaiannya pun belum lagi hancur, dan
cangkirnya belum lagi pecah. Demi Zat yang menguasai jiwaku, tindakan
kalian ini entah karena kalian mengikuti jalan yang lebih baik dari pada
jalan Muhammad, ataukah karena kalian telah membuka pintu menuju
kesesatan?'
Mereka menjawab, 'Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman, kami hanya ingin berbuat baik.'
Abu
Abdurrahman kembali berkata, 'berapa banyak orang yang ingin melakukan
kebaikan tetapi mereka tak mendapatkan kebaikan! Rasulullah SAW
mengatakan kepada kita bahwa ada orang yang membaca Al-Qur'an namun ia
tidak mendapatkan apa-apa kecuali tenggorokan yang kering. Demi Allah,
aku tidak tahu, mungkin kebanyakan mereka adalah orang-orang seperti
kalian.' Kemudian ia beranjak pergi meninggalkan mereka.
Amr
ibn Salamah berkata, 'kelak, aku melihat kebanyakan orang dari
lingkaran itu berperang untuk khawarij dalam perang Nahrawan'.
Riwayat
itu menunjukkan bahwa perbuatan baik yang juga dilandasi oleh niat baik
belum tentu dianggap baik dan akan menghasilkan kebaikan. Kaum muslimin
yang berzikir sambil menunggu waktu shalat itu melakukan kebaikan dan
berkeinginan untuk melakukan kebaikan. Namun, dimata Abu Abdurrahman,
perbuatan mereka itu akan sia-sia jika mereka tak menghisab kesalahan
dan keburukan yang selama ini mereka lakukan.Ucapan Amr ibn Salamah
diakhir riwayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang mementingkan
zikir tanap pernah melakukan evaluasi diri cenderung akan terjebak dalam
kesesatan. Buktinya, Amr ibn Salamah melihat banyak diantara
orang-orang yang ikut lingkaran zikir itu ternyata menjadi pengikut
Khawarij yang berperang melawan pasukan Ali ibn Abi Thalib di Nahrawan.
Kelompok Khawarij dikenal sebagai kaum muslimin puritan yang memaknai
Al-Qur'an dan syariat secara harfiah. Mereka dengan mudah mengafirkan
kelompok lain yang tidak sehaluan dengan mereka.
Hal
lain yang harus diperhatikan ketika hendak menegur atau memperingatkan
seseorang adalah bersikap adil dan tidak berat sebelah. Allah berfirman,
"dan apabila kalian telah mengatakan (untuk menghakimi atau memberi
kesaksian) maka hendaklah kalian berlaku adil". QS.Al-An'am[6]:152
Allah juga berfirman, "dan apabila menetapkan hukum diantara manusia, tetapkanlah dengan adil". QS.Al-Nisa[4]:58
Sikap
itulah yang dipraktikkan dan senantiasa dijalankan Rasulullah kepada
seluruh umatnya, termasuk para sahabat yang paling dicintainya. Faktor
bahwa Usamah ibn Ziad adalah orang yang dicintai oleh Rasulullah dan
putra orang yang dicintainya (Zaid ibn Haritsah) tidak menghalangi Nabi
Muhammad SAW untuk menegurnya dengan keras ketika ia membela orang yang
terkena hukuman (hudud). Aisyah r.a meriwayatkan bahwa orang-orang
Quraisy mempermaslahkan seorang wanita yang mencuri pada masa Nabi
Muhammad SAW, ia tepatnya pada hari Penaklukan Makkah. Mereka berkata,
"siapa yang mau berbicara kepada Rasulullah SAW perihal perempuan itu?
Siapakah yang berani bicara kepadanya selain Usamah ibn Zaid, kekasih
Rasulullah SAW?"
Perempuan
itu dihadapkan kepada Rasulullah SAW dan Usamah ibn Zaid berbicara
kepadanya mengenai perempuan itu. Muka Rasulullah SAW berubah merah dan
ia berkata keras, "apakah kau akan mencela hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah?"
Usamah berkata, "mohonkanlah ampunan untukku, wahai Rasulullah."
Ketika
malam tiba, Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah dihadapan
orang-orang. Setelah memuji Allah dengan segenap pujian yang layak
untuk-Nya, Rasulullah bersabda, "umat yang datang sebelum kalian
dibinasakan karena jika seorang pembesar mencuri, mereka membiarkannya.
Namun, jika ada rakyat jelata yang mencuri, mereka menghukumnya. Demi
Zat yang menguasai jiwaku, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad
mencuri, aku pati akan memotong tangannya'. Setelah itu, Rasulullah
memerintahkan untuk memotong tangan wanita yang telah mencuri itu".
HR.Al-Bukhari & Muslim.
Al-Nasa'i
meriwayatkan bahwa Aisyah r.a berkata, "seorang perempuan meminjam
perhiasan dan ia mengaku bahwa perhiasan itu ia pinjamkan kepada orang
lain. Padahal, ia menjual perhiasan itu dan menyimpan uangnya. Perempuan
itu dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Keluarganya mendatangi Usamah ibn
Zaid dan memintanya agar berbicara kepada Rasulullah SAW memohon
ampunan bagi perempuan itu. Ketika Usamah datang dan berbicara, muka
Rasulullah SAW berubah merah lalu berkata, "apakah kau ingin
mempersoalkan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah?'
Dengan suara yang bergetar karena takut, Usamah menjawab, 'mohonkanlah ampunan untukku, wahai Rasulullah.'
Ketika
malam tiba, Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah dihadapan
orang-orang. Setelah memuji Allah dengan segenap pujian yang layak
untuk-Nya, Rasulullah bersabda, "umat yang datang sebelum kalian
dibinasakan karena jika seorang pembesar diantara mereka mencuri, mereka
membiarkannya. Namun , jika ada rakyat jelata yang mencuri, mereka
menghukumnya. Demi Zat yang menguasai jiwaku, bahkan seandainya Fatimah
putri Muhammad mencuri, aku pasti akan memotong tangannya. Sunan
Al-Nasa'i.
Sikap
Muhammad kepada Usamah r.a menunjukkan bahwa ia senantiasa berlaku
adil dan tegas. Keadilan dan ketetapan syariat lebih ia dahulukan
ketimbang rasa cinta dan sayangnya kepada seseorang. Mungkin seseorang
akan menerima dan membiarkan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
dicintainya. Namun, ia tak punya hak untuk menoleransi atau menghapus
kesalahan orang yang melewati batas atau melanggar hukum Islam.
Kadang-kadang
ketika seorang anggota keluarga, kerabat, atau teman berbuat salah,
kita membiarkannya dan tidak menegurnya. Kita berpandangan seakan-akan
ia melakukan kesalahan itu karena tidak sengaja atau karena tidak tahu.
Tindakan kita mungkin berbeda seandainya yang melakukan kesalahan itu
adalah seseorang yang sama sekali tidak kita kenal. Sikap seperti itu
menunjukkan kecenderungan kita pada penyimpangan dan diskriminasi.
Seseorang sangat mungkin menutup mata terhadap kesalahan yang dilakukan
kawannya, namun mengkritik habis-habisan kesalahan yang dilakukan orang
lain.
Peribahasa
Arab mengatakan, "jika menyukai seseorang, kau tidak akan melihat
kesalahannya. Sebaliknya, jika membenci seseorang, kau akan melihat
semua kesalahannya".
Kecenderungan
untuk bias dan bersikap berat sebelah mungkin saja kita tunjukkan
dengan cara lain, seperti dengan menafsirkan suatu tindakan secara tidak
tepat.Tindakan sama yang dilakukan oleh orang yang kita cintai dan
orang yang tidak kita kenal, sangat mungkin ditafsirkan dengan cara yang
berbeda.
Sikap-sikap
seperti itu dapat kita terapkan jika situasi lingkungannya sama. Jika
berbeda, kita membutuhkan pertimbangan-pertimbangan lain sebagaimana
yang akan kita bahas dibawah ini.
Kadang-kadang
kita mesti mengabaikan kesalahan kecil yang dilakukan seseorang demi
kepentingan yang lebih besar. Atau, kita mesti membiarkan kesalahan
kecil untuk membendung terjadinya kesalahan yang lebih besar. Ketika
dihadapkan pada dua pilihan, antara kesalahan yang lebih kecil dampak
buruknya dan kesalahan yang lebih besar dampak buruknya, kita mesti
memilih kesalahan yang lebih kecil dampak buruknya.
Sebagai
contoh, kita melihat dalam sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW membiarkan
orang munafik dan tidak memerangi mereka meskipun keburukan dan
kejahatan mereka tak terbantahkan. Rasulullah menghadapi hinaan, kecaman
dan keburukan mereka dengan sabar. Ia tak mau orang-orang mengatakan,
"Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya". Ucapan Nabi Muhammad itu
dikatakan ketika Umar ibn Al-Khattthab merasa gerah dan kesal melihat
tingkah laku Abdullah ibn Ubay, pemimpin kaum munafik. Beberapa kali ia
menyebarkan fitnah dan mengganggu kedamaian kaum muslimin. Tidak hanya
Umar, banyak sahabat lain, dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang
kesal kepada Ibn Ubay. Karena itu, pada suatu ketika, setelah terjadi
perselisihan antara golongan Muhajirin dan Anshar akibat fitnah yang
disebarkan Ibn Ubay, Umar ibn Al-Khatthab meminta izin kepada Rasulullah
SAW untuk membunuh Ibn Ubay. Tidak hanya Umar yang meminta izin untuk
membunuhnya, beberapa sahabat Anshar, bahkan salah seorang putra Ibn
Ubay pun meminta izin untuk membunuhnya. Namun, dengan penuh kelembutan
dan kasih sayang, Nabi menolak permintaan mereka dan mengatakan, "aku
tak mau orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh
sahabt-sahabatnya".
Abdullah ibn Ubay dibiarkan hidup dan berkeliaran karena tak semua orang Madinah mengetahui karakter asli dedengkot munafik itu.
Sama
halnya, Nabi Muhammad SAW tidak menghancurkan Ka'bah untuk membangunnya
kembali diatas fondasi yang diletakkan oleh Ibrahim a.s karena
mempertimbangkan keimanan orang Quraisy yang masih labil dan lemah.
Karakter dan jiwa mereka masih dekat dengan kejahiliyahan. Rasulullah
SAW khawatir, jika Ka'bah dibongkar dan dipindahkan keatas fondasi
Ibrahim a.s, mereka akan kembali kedalam kekafiran. Karena itu, ia tetap
membiarkan bangunan itu sebagaimana adanya dan hanya melakukan sedikit
perubahan pada bagian pintunya.
sebelum
itu, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk tidak menghina tuhan-tuhan
kaum musyrik, karena hal itu akan menyebabkan mereka menghina tuhan.
Syirik yang dilakukan kaum musyrik tentu saja merupakan kezaliman yang
harus diluruskan atau dibersihkan. Namun, penghinaan kepada Allah
merupakan kezaliman yang sangat besar. Karena itulah kaum muslim diminta
untuk tidak menghina tuhan-tuhan kaum musyrik agar mereka tidak
menghina Allah, Tuhan seluruh alam semesta.
Seorang
dai atau pendidik mungkin dapat mendiamkan perbuatan salah yang
dilakukan seseorang, tak langsung menegurnya, atau mengubah gaya
pendekatannya jika dengan cara itu ia bisa menghindari kesalahan atau
dosa yang lebih besar. Sikap seperti itu tidak dianggap salah atau
ceroboh selama dilandasi oleh niat yang baik dan tulus, serta tak ada
yang ditakutinya kecuali Allah. Ia mengambil langkah seperti itu bukan
karena takut kepada manusia, melainkan demi kepentingan Islam, yakni
agar seseorang atau umat Islam terlepas dari keburukan atau dosa yang
lebih besar. Perlu diperhatikan, orang yang berbuat salah cenderung
melakukan kesalahan yang lebih besar jika ia merasa sakit hati atau
tersinggung oleh orang yang menegurnya. Kedengkian dan kecemburuan
sering menjadi penyebab seseorang melakukan kejahatan yang lebih besar.
Sikap
berikutnya yang mesti dperhatikan saat kita hendak menegur atau
menasihati seseorang adalah memahami watak dan kepribadian orang yang
berbuat salah. Ada beberapa kesalahan atau keburukan yang tidak bisa
dihilangkan karena kesalahan itu berhubungan dengan kodrat penciptaan
manusia. Mungkin kesalahan itu bisa dikurangi sedikit demi sedikit,
namun upaya untuk menghilangkannya secara sekaligus akan berakibat
fatal. Misalnya, kesalahan atau keburukan yang berkaitan dengan
perempuan. Rasulullah SAW bersabda, "perempuan diciptakan dari tulang
rusuk, dan sikapnya kepadamu tidak akan konsisten. Jika kau
membiarkannya, ia akan semakin bengkok, dan jika kau meluruskannya, kau
akan mematahkannnya. Patahnya seorang perempuan adalah perceraiannya".
HR.Muslim.
Dalam
riwayat lain dikatakan, "sayangilah kaum wanita, karena mereka
diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian tulang rusuk yang paling mudah
patah adalah ujungnya. Jika kau mencoba meluruskannya, kau akan
mematahkannya, ia akan semakin bengkok. Karena itu, sayangilah kaum
wanita". HR.Al-Bukhari.
Ibn
Hajar r.a berkata, "Ungkapan perlakukanlah wanita dengan lemah lembut
menunjukkan bahwa kau harus memperlakukannya dengan benar. Sebab, jika
kau berkukuh meluruskannya, kau akan mematahkannya, dan jika kau
membiarkannya, ia akan menjadi semakin bengkok. Hadist ini memberi
pelajaran bahwa kita tak boleh membiarkannya bengkok ketika ia keluar
dari batas-batas alamiah, melakukan dosa, atau melalaikan kewajiban.
Dengan kata lain, kita bisa saja membiarkannya jika apa yang
dilakukannya tidak menyimpang atau bertentangan dengan syariat. Hadist
ini juga memberi kita pelajaran bahwa pendekatan yang lembut akan
membuka dan melunakkan hati perempuan. Pelajaran lainnya, ketika
memperlakukan perempuan, kita harus mengikuti kecenderungan mereka dan
menghadpi kebengkokan mereka dengan sabar. Dengan sikap dan pendekatan
yang tepat, seorang perempuan tidak akan merasa tersakiti ketika ditegur
atau dinasihati. Orang yang bersikukuh berusaha meluruskan perempuan
tidak akan mendapatkan kebaikan dari upayanya itu selain kerusakan.
Selain itu, seorang laki-laki akan senantiasa membutuhkan perempuan yang
menemani dan mendukungnya sepanjang hidup. Karena itu, dibutuhkan
kesabaran dan pendekatan yang lembut untuk menikmati hidup bersama
seorang perempuan.". HR.Al-Bukhari.
Kita
juga harus membuat perbedaan antara kesalahan ynag melewati batas-batas
Islam dan kesalahan yang hanya berdampak pada seseorang. Jika kita
mencintai Islam melebihi kecintaan kita pada diri sendiri maka kita
harus membela dan menjaganya. Kita harus marah kepada orang yang
merugikan Islam melebihi kemarahan kita kepada orang yang merugikan diri
kita sendiri. Seseorang dianggap tidak memiliki rasa keislaman jika ia
marah ketika kepentingannya diganggu, tetapi ia tidak melakukan apa-apa
ketika keagungan atau kesucian Islam dinodai. Kebanyakan kita saat ini
mungkin akan membela Islam tidak sepenuh hati dan dengan cara-cara yang
memalukan.
Nabi
Muhammad SAW sering kali memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya,
terlebih lagi jika mereka adalah orang Badui yang keras kepala dan tidak
tahu adat. Ia melakukan semua itu untuk melembutkan hati mereka.
Al-Bukhari r.a meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Anas ibn Malik
menuturkan, "aku sedang berjalan bersama Rasulullah yang saat ituv
mengenakan jubah Najrani dengan kerah yang kaku. Seorang badui
menyapanya, menggenggam kerah jubahnya dengan kasar sehingga
meninggalkan bekas dileher Nabi Muhammad SAW. Badui itu berkata, 'Hai
Muhammad! Berikanlah aku harta Allah yang engkau miliki!' Rasulullah SAW
tersenyum kepadanya, lalu menyuruhku untuk memberikan sesuatu kepada
orang Badui itu". HR.Al-Bukhari.
Sikap
Rasulullah akan berbeda jika kesalahan itu berkaitan dengan masalah
agama. Ia akan marah jika seseorang merendahkan atau mengabaikan ajaran
agama. Ia marah bukan karena dorongan nafsu atau rasa benci, melainkan
karena Allah SWT. Banyak contoh demikian yang dapat kita temukan dalam
ktiab-kitab hadist. Hal lain yang mesti diperhatikan ketika kita hendak
mengingatkan atau menegur seseorang adalah membuat perbedaan antara
kesalahan kecil atau sepele dan kesalahan besar; atau dalam peristilahan
syariat, antara dosa kecil dan dosa besar. Kedua bentuk kesalahan itu
harus disikapi secara berbeda. Selain itu, kita juga harus memperhatikan
apakah orang yang berbuat salah itu dikenal sebagai orang yang selalu
berbuat baik sehingga kesalahannya itu tidak begitu kentara atau
memengaruhi dirinya, ataukah orang yang sering berbuat jahat? Banyak
orang yang mungkin tidak mempersoalkan kesalahan kecil yang dilakukan
oleh seseorang yang dikenal sebagai orang baik. Namun, mereka tidak akan
memaafkan orang yang selalu atau sering melakukan kesalahan atau dosa.
Riwayat berikut ini dapat menjadi contoh. Asma binti Abu Bakar
menuturkan :
"Kami
berangkat bersama Rasulullah SAW sebagai jamaah haji. Ketika kami tiba
al-'Arj, Rasulullah berhenti untuk istirahat dan kami ikut berhenti.
Aisyah duduk disamping Rasulullah dan aku duduk disamping ayahku.
Sementara itu, seorang budak menjaga hewan tunggangan Abu Bakar dan
Rasulullah SAW. Abu Bakar duduk menunggu Rasulullah bangkit kembali
untuk melanjutkan perjalanan. Ketika rasulullah telah siap berangkat,
Abu Bakar tidak melihat unta yang akan membawanya. Abu Bakar bertanya
kepadda budaknya, 'dimanakah unta Rasulullah itu?'
Budak itu menjawab, 'unta itu hilang kemarin.'
'Seekor
unta, dan kau menghilangkannya?' tanya Abu Bakar sambil memukul budak
itu. Menyaksikan kelakuan sahabatnya itu, Rasulullah tersenyum dan
berkata, 'lihatlah yang dilakukan muhrim (orang yang sudah berihram
untuk haji) ini."
Ibn
Abi Rizmah menuturkan, "Rasulullah tidak melakukan apa-apa kecuali
tersenyum dan berkata, 'lihatlah apa yang dilakukan muhrim ini." HR.Abu
Dawud.
Rasulullah
tidak melakukan apa-apa untuk menegur Abu Bakar yang marah dan memukul
budaknya padahal ia telah mengenakan pakaian ihram untuk menjalankan
ibadah haji. Rasulullah tidak menegurnya dengan keras karena mengetahui
watak sahabatnya itu. Abu Bakar adalah sahabat yang paling dipercaya dan
dicintai oleh Rasulullah karena kejujuran, kebaikan, kesetiaan, dan
kedermawanannya. Kesalahan kecil itu tsk memengaruhi kebaikan dan
ketaqwaannya. Mungkin Abu Bakar memarahi dan memukul budaknya itu karena
ia menghilangkan hewan tunggangan Rasulullah SAW, orang yang sangat ia
cintai dan ia muliakan.
Selain
harus bersikap adil dan tegas ketika menyampaikan teguran atau nasihat,
ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan, diantaranya :
* Kita harus membedakan antara orang yang berbuat salah terus-
menerus dan orang yang pertama kali berbuat salah.
* Kita harus membedakan antara orang yang sering berbuat salah
dan orang yang jarang berbuat salah.
* Kita harus membedakan antara orang yang berbuat salah secara
terbuka atau terang-terangan, dan orang yang berusaha menutupi
kesalahannya.
* Kita juga harus memperhatikan watak dan keberislaman seseorang
sehingga teguran atau nasihat yang kita sampaikan tidak
membuatnya berpaling dari Islam. Karenanya, kita harus bersikap
bijak dan lebih lembut kepada orang yang belum kuat
keislamannya dan keimanannya, seperti seorang mualaf atau orang
yang sebelumnya dikenal sering melakukan kesalahan. Sikap keras
dan tegas mungkin akan membuatnya semakin jauh dari Islam.
* Kita juga harus mempertimbangkan kedudukan atau otoritas yang
dimiliki seseorang sehingga kita bisa menyampaikan teguran
dengan pendekatan yang efektif.
Sikap
dan pertimbangan yang sama harus kita perhatikan saat menghadapi anak
kecil. Bisa jadi, menegur atau menasihati anak kecil akan lebih rumit
dibanding menasihati orang dewasa. Sebab, anak kecil melakukan kesalahan
karena berbagai sebab, baik karena tidak tahu, nakal, coba-coba, atau
sebab-sebab lainnya. Karena itu, menegur anak kecil yang berbuat salah
harus dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan usianya. al-Bukhari
r.a meriwayatkan bahwa al-Hasan ibn Ali mengambil sebutir kurma dari
tumpukan kurma yang diberikan untuk zakat dan meletakkannya dimulutnya.
Nabi Muhammad SAW berkata, "kakh, kakh (isyarat agar al-Hasan
memuntahkannya), tahukah kau bahwa kita tidak boleh memakan
zakat?"HR.Al-Bukhari.
Al-Thabrani
r.a meriwayatkan dari Zainab binti Abi Salamah bahwa ketika masih
kecil, ia masuk rumah Nabi Muhammad SAW dan tanpa sengaja melihatnya
sedang mandi. Berikut ini penuturannya, "Rasulullah mengambil segayung
air dan menyiramkannya kepadaku seraya berkata, 'pergilah, gadis bodoh!"
Al-Mu'jam al-Kabir.
Riwayat
itu memberi kita pelajaran bahwa kita harus menegur orang yang
melakukan kesalahan meskipun itu dilakukan oleh anak kecil.Jika seorang
anak kecil melakukan kesalahan dan kemudian ia dibiarkan tnapa
teguranatau nasihat, tentu pengalaman itu akan tersimpan dalam memorinya
dan ia berpikir bahwa apa yang dilakukannya itu bukanlah kesalahan.
Hadist yang pertama menunjukkan bagaimana seorang anak diajari agar
takut kepada Allah dan mengendalikan dirinya. Hadist yang kedua
menunjukkan bagaimana seorang anak diajari sopan santun dan etika,
seperti bagaimana seharusnya meminta izin sebelum memasuki rumah orang
dan tentang keharusan menahan diri dari melihat aurat.
Cerita
Umar ibn Abi Salamah memberi ktia contoh lain tentang bagaimana
seharusnya mengajari anak-anak. Al-Bukhari meriwayatkan dari Umar ibn
Abi Salamah bahwa ia berkata, "aku adalah seorang anak kecil dibawah
asuhan Rasulullah. Suatu ketika, saat kami makan, aku mengacak-acak
makanan dari satu piring ke piring lainnya. Melihat tingkahku,
Rasulullah berkata, 'hai anak kecil! Bacalah Basmalah. Makanlah dengan
tangan kananmu, dan makanlah makanan yang ada dihadapanmu'. Ucapan
Rasulullah itu memberiku pelajaran tentang cara makan yang seharusnya".
HR.Al-bukhari.
Dalam
riwayat ini Rasulullah mengajari kita cara yang efektif untuk menegur
atau mengajarkan kebaikan kepada anak kecil yang berbuat salah.
Rasulullah menegur mereka dengan kata-kata yang jelas, ringkas dan tegas
sehingga anak-anak kecil itu akan mengingatnya sepanjang hidup mereka.
Sikap
bijaksana dan hati-hati harus senantiasa kita terapkan ketika menegur
atau menasehati seseorang, terlebih lagi ketika menegur seorang wanita
yang bukan mahram. Kehati-hatian harus dijaga agar kita terhindar dari
fitnah atau godaan setan, dan supaya nasihat kita tidak disalah pahami.
Seorang laki-laki yang masih muda tidak boleh mempergunakan alasan
apapun untuk menasihati atau mengajari seorang pemudi. Tindakan seperti
itu lebih sering menuntun seseorang pada fitnah. Jika kita ingin menegur
atau menasihati wanita bukan mahram yang melakukan kesalahan, lebih
baik kita menyerahkan urusannya kepada pihak yang lebih berwenang, baik
kepada keluarganya ataupun kepada polisi syariat. Jika kita hendak
menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, kita harus
melakukannya dengan penuh pertimbangan sehingga tindakan kita
benar-benar bermanfaat dan tidak menimbulkan bencana. Jika, setelah
dipertimbangkan, teguran kita akan membawa hasil dan mengubah perilaku
seorang wanita yang berbuat salah, kita dapat melakukannya. Namun, jika
itdak, dan kita berpikir bahwa tindakan itu cenderung mengakibatkan
keburukan, lebih baik kita diam dan menahan diri. Sangat mungkin ia atau
orang lain salah memahami tindakan kita sementara si pelaku tetap
melakukan kesalahannya. Keadaan masyarakat secara umum dan kedudukan
orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran memainkan
peranan penting dalam penasihatan. Riwayat berikut ini bisa jadi contoh
yang baik untuk kita pertimbangkan.
Ubaid,
budak Abu Raham yang telah dimerdekakan, meriwayatkan bahwa suatu
ketika Abu Hurairah bertemu dengan seorang perempuan yang memakai minyak
wangi berjalan menuju mesjid. Abu Hurairah bertanya, "wahai hamba
Allah, hendak pergi kemanakah engkau?"
Wanita itu menjawab, "ke mesjid."
"Dan kau memakai parfum ke mesjid?"
"Ya."
"Aku
mendengar Rasulullah bersabda, "jika seorang wanita memakai minyak
wangi kemudian pergi ke mesjid maka Allah tidak menerima shalatnya
sampai ia menyucikan diri (ghusl)." HR. Ibnu Majah.
Kita juga harus memperhatikan beberapa hal berikut :
* Semestinya kita tidak menyibukkan diri dengan menunjukkan
kebenaran atau nilai-nilai kebaikan sementara kita mengabaikan
penyebab seseorang melakukan kesalahan.
* Kita pun tak boleh melebih-lebihkan kesalahan yang dilakukan
seseorang.
* Kita jangan sampai berusaha membuktikan secara berlebihan
kesalahan yang dilakukan seseorang atau memaksanya mengaku
telah berbuat salah.
* Seyogyanya kita memberikan cukup waktu kepada pelaku kesalahan
untuk mengubah kelakuannya, terutama kepada orang yang sekian
lama terbiasa melakukan kesalahan. Kendati demikian, kita harus
terus membimbing dan menasihatinya agar ia berubah.
* Tak semestinya kita membuat seseorang yang melakukan kesalahan
merasa bahwa kita memusuhinya. Sebab, teguran dan nasihat di
sampaikan untuk mendukung seseorang, bukan melawan atau
memusuhinya.
Dikutip dari bukunya "Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar