Kamis, 29 November 2012

MELAKUKAN KESALAHAN ITU MANUSIAWI

Rasulullah bersabda, "Setiap keturunan anak Adam melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah orang yang bertaubat".(HR.Ath-Tirmidzi)

Tak terbantahkan, semua manusia tidak akan luput dari kesalahan. Rasulullah sendiri, manusia paling mulia dan terbebas dari dosa, tak luput dari melakukan kesalahan. Karena itulah kita melihat dalam Al-Qur'an beberapa ayat yang merupakan teguran dari Allah kepada Rasul-Nya yang terkasih. Semua orang, terlebih lagi seorang dai, guru, atau pendidik, mesti memahami fakta ini sebaik-baiknya. Dengan begitu, ia tidak berharap bahwa seseorang harus menjadi sempurna, bebas dari kesalahan. Ia tidak akan sembarang menghakimi orang yang melakukan kesalahan. Jika kita memahami bahwa manusia tak luput dari kesalahan, kita tidak akan bertindak sekehendak hati dan mengharapkan seseorang bertindak sesuai dengan keinginan kita. Selain itu, kita tidak akan mudah memvonis bahwa seseorang telah gagal atau bodoh karena melakukan kesalahan. Ketika menghadapi seseorang yang melakukan kesalahan, kita harus bersikap realistis, melihat latar belakang pribadinya dan menyadari bahwa manusia tak luput dari kesalahan. Manusia adalah makhluk lemah, bodoh, lalai, suka bertingkah, pelupa, dan cenderung mengikuti hawa nafsu.



Dengan pemahaman seperti itu, seorang pendidik tidak akan terkejut ketika mendapati begitu beragam kesalahan yang dilakukan orang-orang. Kesadaran itu akan mengendalikan dirinya untuk tidak berbuat sekehendak hati atau menegur seseorang secara serampangan. Jika seorang dai atau pendidik memahami bahwa setiap orang mungkin melakukan kesalahan, ia akan menghadapi seseorang dengan cara yang bijak dan santun. Ia sadar, dirinya pun mungkin melakukan kesalahan. Ia tidak akan memilih cara-cara yang kasar ketika berusaha meluruskan orang lain dari kesalahan. Ia tidak akan menyalahkan atau merendahkan orang yang berbuat kesalahan. Meskipun melakukan kesalahan merupakan kodrat alami manusia, tak berarti kita harus membiarkan seseorang melakukan kesalahan, atau memaafkan orang yang berbuat dosa atas dasar bahwa ia hanyalah manusia biasa atau bahwa ia masih muda, atau bahwa era modern sarat dengan godaan dan bujuk rayu, dan lain-lain. Meskipun manusia adalah tempatnya salah dan lupa, kita tetap harus mencela keburukan atau kejahatan yang dilakukan seseorang; kita harus menegur dan meluruskan kesalahan yang dilakukan seseorang.



Namun, kita tak bisa secara serampangan menuduh atau mengatakan seseorang melakukan kesalahan. Pernyataan bahwa seseorang telah bersalah harus didasarkan atas bukti-bukti syariat dan pemahaman yang benar, bukan atas dasar ketidaktahuan atau atas dasar pikiran bahwa sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Muhammad ibn al-Mun-kadir meriwayatkan bahwa Jabir melaksanakan shalat hanya mengenakan sehelai sarung yang diikatkan hingga punggungnya. Sementara pakaian-pakaiannya yang lain tergantung dicantelan. Seseorang bertanya kepadanya, "mengapa engkau melaksanakan shalat dengan hanya mengenakan sehelai sarung?"

 Ia menjawab, "aku melakukannya agar orang bodoh sepertimu melihatku: siapakah diantara kita yang punya 2 pakaian pada masa Rasulullah SAW?"

Ibn Hajar r.a berkata, "orang bodoh yang dimaksudkan disana adalah orang yang tidak tahu. Ungkapannya itu dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa tindakan seperti itu diperbolehkan. Shalat dapat dilakukan dengan hanya mengenakan satu helai pakaian meskipun akan lebih baik jika mengenakan 2 helai pakaian. Seakan-akan Jabir ingin mengatakan, 'kulakukan ini untuk menunjukkan bahwa tindakan seperti ini diperbolehkan. Dengan begitu, orang-orang yang tidak tahu bisa mengikuti tindakanku ini atau ia bisa menegurku dan kemudian kusampaikan kepadanya bahwa hal ini diperbolehkan'. Jabir memberikan jawaban yang cukup keras untuk mengajari mereka agar tidak menyerang para ulama dan untuk membantu mereka agar bisa menjalankan syariat secara seksama sesuai dengan ketentuan.(HR.Al-Bukhari)



Upaya mengoreksi kesalahan seseorang tentu saja dilakukan secara berbeda sesuai dengan kepribadian orang itu dan tingkat kesalahan yang dilakukannya. Kesalahan berat atau penyimpangan serius harus ditangani secara lebih keras dan lebih serius. Contohnya, upaya meluruskan kesalahan aqidah harus lebih serius dibanding kesalahan etika. Jika kita menelaah hadist-hadist Nabi secara seksama, kita akan melihat betapa Rasulullah SAW sangat memperhatikan upaya untuk menegur dan meluruskan kesalahan yang dilakukan seseorang. Mislanya, al-Mugirah ibn Syu'bah berkata :

"Setelah putra Rasulullah, Ibrahim, meninggal dan dikuburkan, tiba-tiba terjadi gerhana matahari. Sebagian orang mengatakan, 'gerhana matahari ini terjadi karena kematian Ibrahim'.



Ucapan itu sampai ke telinga Nabi. Maka, Nabi bersama semua orang yang hadir bangkit mendirikan shalat gerhana, lalu berkhutbah, 'sesungguhnya matahari dan bulan merupakan 2 tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak tenggelam(gerhana) karena kematian seseorang. Jika kalian melihat gerhana, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, ucapkanlah shalawat, dan bersedekah".(HR.Al-Bukhari)


Abu Waqid al-Laitsi meriwayatkan bahwa ketika pergi ke Hunain, Rasulullah SAW melewati sebatang pohon milik kaum musyrik yang disebut Zatu Anwat. Pohon itu dipergunakan untuk menggantungkan senjata mereka. Sebagian sahabat berkata,"wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami seperti Zatu Anwat yang mereka miliki". Rasulullah SAW bersabda, "maha suci Allah! Permintaan kalian ini seperti kaum Musa yang meminta agar dibuatkan tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan. demi zat yang menguasai jiwaku, kalian akan mengikuti cara-cara umat yang datang sebelum kalian.(HR.Al-Tirmidzi)


Menurut riwayat lain, para sahabat pergi dari Mekkah bersama Rasulullah menuju Hunain. Ditengah perjalanan, ketika mereka beristirahat, Rasulullah SAW bersabda, "orang-orang kafir memiliki sebatang pohon  yang mereka sembah dan mereka pergunakan untuk menggantungkan senjata. Pohon itu disebut Zatu Anwat".


Kemudian, ketika mereka melewati pohon seperti pohon Zatu Anwat, sebagian sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebuah pohon sebagaimana mereka memiliki Zatu Anwat".


Rasulullah SAW bersabda, "maha suci Allah! Permintaan kalian ini seperti kaum Musa yang meminta agar dibuatkan tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan. Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh. Permintaan kalian itu sama saja dengan permintaan kaum Musa dan sedikit demi sedikit kalian mengikuti cara-cara umat yang datang sebelum kalian".(HR.Ahmad)


Zaid ibn Khalid al-Juhani menuturkan, "Rasulullah SAW memimpin shalat Subuh (Fajr) di Hudaibiyah setelah pada malam harinya turun hujan. Usai shalat, Rasulullah berpaling menatap orang-orang dan bertanya, 'tahukah kalian apa yang baru saja difirmankan Tuhan kalian?' Mereka menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui'. Rasulullah bersabda, 'pagi ini salah seorang hamba-Ku beriman kepada-Ku, dan seroang lainnya mengingkari-Ku. Orang yang pagi ini mengatakan bahwa hujan ini turun karena kasih sayang dan anugerah Allah, berari ia beriman kepada-Ku dan mengingkari bintang-bintang. sementara orang yang mengatakan bahwa hujan ini turun karena bintang tertentu maka ia telah mengingkari-Ku dan beriman kepada bintang-bintang".(HR.Al-Bukhari)


Ibn Abbas meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah, "wahai Rasulullah, kuikuti apapun yang Allah dan Engkau inginkan".


Rasulullah menegurnya dan berkata, "apakah kau menganggapku setara dengan Allah? Alih-alih berkata seperti itu, katakanlah : kuikuti apapun yang Allah kehendaki".(HR.Ahmad)


Ibn Umar r.a meriwayatkan bahwa suatu ketika ia berada diantara Umar ibn al-Khathab dan beberapa sahabat lainnya dan ia mendengarnya bersumpah atas nama ayahnya. Muhammad SAW menyeru mereka dan mengatakan bahwa Allah melarang mereka bersumpah atas nama ayah atau leluhur mereka. Jika seseorang ingin mengucapkan sumpah, bersumpahlah atas nama Allah, atau jangan bersumpah.(HR.Al-bukhari)


Sementara dalam riwayat lain, dari Imam Ahmad dari Imam Waki dari Al-A'masy, bahwa sa'd ibn Ubaidah berkata, "aku sedang bersama Ibn Umar dan sekelompok orang lainnya. Kami mendengar seseorang berkata, 'tidak, aku bersumpah atas nama ayahku'. Mendengar ucapannya itu, ibn Umar melempar orang itu dengan kerikil dan berkata, "sumpahmu itu seperti sumpah yang biasa diucapkan oleh umar, namun Rasulullah melarangnya bersumpah seperti itu dan menyebutnya sebagai perbuatan syirik".


Abu syuraih Hani Ibn Yazid menuturkan bahwa sekelompok orang mendatangi Nabi Muhammad SAW dan ia mendengar mereka memanggil salah seorang diantara mereka dengan panggilan Abdul Hajar (budak batu). Rasulullah bertanya kepada orang itu, "siapakah namamu?"

Ia menjawab, "Abdul Hajar".

Rasulullah SAW bersabda, "bukan itu namamu. Namamu adalah Abdullah". (HR.Al-bukhari)


Selain itu, ketika hendak menegur atau meluruskan kesalahan yang dilakukann seseorang, kita harus mempertimbangkan posisi atau kedudukan kita dan kedudukan orang itu. Sebab, nasihat seseorang mungkin akan lebih diterima daripada nasihat orang lain karena perbedaan status sosial, perbedaan usia, kedudukan, atau perbedaan otoritas tehadap orang yang ditegur atau diberi nasihat. Sebagai contoh, seseorang mungkin akan lebih mendengar nasihat ayahnya, atau gurunya, atau atasannya dibanding nasihat orang lain yang tidak memiliki hubungan dengannya atau yang tidak otoritas atas dirinya. Dengan memahami perbedaan-perbedaan seperti itu, seorang dai atau pendidik bisa memilih cara-cara atau ucapan yang lebih baik dan lebih efektif untuk menegur orang itu sehingga ia tidak larut dalam kesalahannya atau melakukan kesalahan lain yang lebih berat. Kedudukan seseorang yang menasihati dan kehormatan orang yang ditegur akan memengaruhi proses penyadaran. Berkaitan dengan kedudukan atau otoritas yang dimiliki seseorang ada 2 hal yang harus diperhatikan :


PERTAMA.

 Orang yang mendapat anugerahdari Allah berupa status sosial atau kewenangan atas orang lain harus mempergunakan kedudukan dan otoritasnya itu untuk menyeru kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, serta untuk mengajari orang-orang. Ia harus memahami bahwa ia memiliki tanggung jawab yang sangat besar karena masyarakat secara umum lebih menerima nasihat darinya dibanding orang lain.

KEDUA.

Seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan melarang kejahatan harus bersikap hati-hati dan bijaksana sehingga ia tidak salah menilai situasi atau menganggap dirinya sebagai orang yang lebih tinggi atau lebih berilmu dibanding orang lain. Sikap sombong seperti itu tidak akan bisa menyadarkan orang yang melakukan kesalahan. Alih-alih membuat sadar orang lain, sikapnya itu hanya akan membuat orang-orang membenci dan menjauhinya.


Nabi Muhammad SAW dianugerahi kedudukan mulia. Kadang-kadang beliau memosisikan diri sebagai Nabi yang mulia ketika menegur atau mengajari umat. Sebagai contoh, kadang-kadang ia melakukan sesuatu yang jika dilakukan orang lain akan dianggap sebagai perbuatan yang tidak pantas. Misalnya, Ya'isy ibn Tiflah Al-Ghifari meriwayatkan dari ayahnya bahwa suatu ketika ia bertamu kerumah Rasulullah. Selain aku, ada juga seorang fakir yang menjadi tamu. Saat malam tiba, Rasulullah keluar melihat keadaan tamu-tamunya dan ia melihatku sedang terbaring dalam keadaan tengkurap. Ia menendangku dan berkata, "jangan terbaring seperti itu! Itulah cara berbaring yang dibenci oleh Allah".

Menurut riwayat lain, "ia menendang dan membangunkanku, kemudian berkata, "seperti itulah cara berbaring ahli neraka".



Metode seperti ini memang sesuai untuk Nabi SAW. Karena kedudukan dan kemuliaannya, tetapi metode ini tidak sesuai untuk orang-orang pada umumnya. Menegur seseorang yang sedang tidur tengkurap dengan cara menendangnya tentu bukan teknik yang pantas dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagaimana mungkin kita berharap orang yang sedang tidur lalu kita tendang itu mau menerima nasihat atau teguran kita? Tidak mungkin, apalagi berharap ia akan berterima kasih. Sama halnya, cara yang dilakukan Ibn Umar dengan melemparkan kerikil ketika menegur seseorang, mungkin tidak akan efektif jika kita yang melakukannya. Nabi dan beberapa sahabat melakukan cara seperti itu karena cara itu sesuai dengan kedudukan dan kemuliaan mereka. Orang yang mereka tegur tidak akan merasa tersinggung apalagi sakit hati. Contoh yang lain, Al-Darimi r.a meriwayatkan dari Sulaiman ibn Yasir bahwa seseorang bernama Sabigh pergi ke madinah dan mulai menanyakan beberapa ayat Al-Qur'an yang membingungkan. Umar memanggilnya dan ia terlihat menyiapkan beberapa ranting kurma. Umar bertanya kepadanya, "siapakah kamu?"

Ia menjawab, "aku hamba Allah, Sabigh".

Umar mengambil sebuah ranting dan kemudian memukulkannya kepada Sabigh seraya berkata, "aku hamba Allah, Umar".

Ia terus memukulinya sampai kepalanya mulai berdarah dan ia berkata, "Wahai Amirul Mukminin, cukup! Pikiran itu telah menguap dari benakku".



Al-Bukhari r.a meriwayatkan bahwa ibn Abi Laila berkata, "Hudzaifah tiba di al-Mada'in dan ia meminta segelas minuman. Seorang bangsawan memberinya minuman dengan gelas dari perak. Hudzaifah melemparkan gelas itu dan berkata, 'sebenarnya aku tak mau melemparkan gelas itu. Aku telah bilang kepadanya untuk tidak memberikan gelas itu namun ia bersikukuh. Nabi Muhammad SAW melarang kita mengenakan sutra dan pakaian mewah, serta melarang kita minum dengan gelas atau cangkir yang terbuat dari emas atau perak. Rasulullah mengatakan bahwa semua itu merupakan bagian mereka didunia dan bagian kita di akhirat". (HR.Al-Bukhari)


Masih tentang peristiwa itu, Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdurrahman ibn Abi Laila bahwa ia dan Hudzaifah pergi ke sebuah wilayah dan ia meminta minum. Seorang bangsawan memberinya sebuah cangkir dari perak dan Hudzaifah melemparkan cangkir itu kemukanya. Melihat itu kami berkata satu sama lain, "lebih baik kita tenang dan diam. Jika kita bertanya mengapa ia lakukan itu, mungkin ia takkan mau mengatakannya. Jadi, lebih baik kita diam dan tenang".


Tidak lama berselang, Hudzaifah berkata, "tahukah kamu, mengapa kulemparkan cangkir itu kemukanya?"

Kami menjawab, "tidak".

"telah kukatakan kepadanya agar tidak memberiku cangkir itu, tetapi ia bersikukuh melakukannya. Aku melarangnya karena Rasulullah bersabda, "janganlah minum dari cangkir yang terbuat dari emas".


Muaz yang ada disana berkata, "janganlah minum dari cangkir emas dan perak dan janganlah mengenakan sutra atau kain brukat yang mewah, karena semua itu merupakan bagian mereka didunia dan bagian kalian di akhirat". (HR.Imam Ahmad)




al-Bukhari meriwayatkan bahwa sirin mendatangi Anas dan meminta kepadanya agar membuatkan surat pembebasan budak karena ia sudah punya cukup uang untuk menebus dirinya. Namun, Anas menolaknya sehingga Sirin menemui Umar r.a yang kemudian menyuruh Anas untuk membuat surat pembebasan itu. Anas tetap saja menolak sehingga Umar menghantamnya dengan cambuk seraya membacakan ayat Al-Qur'an:

"Berikanlah mereka (budak yang mencari kebebasan) tulisan (surat pembebasan) jika kalian thau bahwa mereka adalah orang baik dan dapat dipercaya". (QS. Al-Nur(24):33)


Barulah setelah itu Anas mau membuatkan surat pembebasan itu".(HR.Al-Bukhari)



Al-Nasa'i meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa ia sedang melaksanakan shalat ketika salah seorang anak Marwan tiba-tiba berjalan dihadapannya. Ia berusaha mencegahnya, namun anak itu tak mau kembali sehingga ia memukulnya. Anak itu pergi sambil menangis dan mengadukan apa yang terjadi kepada ayahnya. Marwan segera menemui Abu Sa'id dan bertanya, "mengapa kau memukul anak saudaramu?"

Ia menjawab, "aku tidak memukul anak itu. Aku memukul setan. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, "jika salah seorang diantara kalian sedang melaksanakan shalat dan tiba-tiba seseorang hendak lewat didepanmu maka hentikanlah ia sebisamu. Jika ia menolak, pukullah karena ia adalah setan". (Shahih Sunan Al-Nasa'i)



Ahmad r.a meriwayatkan dari Abu Al-Nadr bahwa Abu Sa'id al-Khudri sedang kesakitan karena salah satu kakinya terluka. Salah seorang saudaranya datang dan melihatnya duduk dengan kaki menyilang. Tiba-tiba ia memukul kaki Abu Sa'id yang terluka sehingga ia berteriak kesakitan. Abu Sa'id berkata, "kau melukai kakiku! Tidakkah kau tahu bahwa kaki ini terluka?"

Ia menjawab, "tentu saja aku tahu".

"Lalu mengapa kau memukulnya?"

"Tidakkah kau mendengar bahwa Muhammad melarang kita duduk seperti itu?" (HR.Imam Ahmad)



Malik meriwayatkan dari Abu Zubair bahwa seorang pria menemui seseorang dan melamar adik orang itu untuk ia nikahi. Namun, laki-laki itu mengatakan kepadanya bahwa adiknya telah berzina. Berita itu sampai ke telinga Umar ibn Al-Khatthab sehingga ia memukul laki-laki itu dan berkata, "mengapa kau memberitahunya?"



Imam Muslim meriwayatkan dari abu Ishaq bahwa suatu ketika ia berbincang-bincang dengan al-Aswad ibn Yazid dan al-Sya'bi di Masjidil Haram. Al-Sya'bi mengatakan bahwa ia mendengar Fatimah bin Qais berbicara tentang Rasulullah SAW yang tidak menyediakan rumah atau nafkah kepadanya. Al-Aswad mengambil segenggam kerikil yang kemudian dilemparkan kepada Al-Sya'bi seraya berkata, "Celakalah kau! Kau membicarakan keburukan seperti ini? Umar mengatakan bahwa kita seharusnya tidak meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi untuk omongan seorang perempuan ynag tak kita tahu apakah ia bisa mengingat dengan baik atau tidak. Sesungguhnya kaum wanita berhak atas rumah dan nafkah. Allah berfirman,'janganlah kalian keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan yang keji dan terlarang".QS.Al-Talaq[65]:1



Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang diterima bahwa 2 laki-laki datang dari arah Kindah. Mereka bertemu dengan Abu Mas'ud al-Anshari yang sedang duduk dalam halaqah taklim. Salah seorang dari dua laki-laki itu bertanya, "adakah seseorang yang bisa memutuskan suatu perkara diantara kami?" Tiba-tiba seorang laki-laki di halaqah itu menjawab, "aku akan menjadi penengah diantara kalian". Abu Mas'ud mengambil segenggam kerikil dan melemparkannya kepada laki-laki itu seraya berkata, "Diamlah! Terburu-buru menghakimi bukanlah tindakan yang baik".HR.Abu Dawud



Jika kita perhatikan, kadang-kadang Nabi SAW menegur sahabat-sahabat dekatnya dengan cara yang lebih keras dibanding ketika menegur seorang badui atau seorang asing yang tak tahu adat. Kendati demikian, para sahabat yang ditegur tidak merasa tersinggung atau sakit hati karena Nabi SAW melakukannya dengan penuh pertimbangan dan kebijaksanaan. Dengan cara itu, tegurannya bekerja efektif dan tidak menyinggung perasaan orang yang ditegurnya.



Ketika hendak menegur, kita harus memperhatikan siapa orang yang kita tegur. Menegur seseorang yang melakukan kesalahan karena tidak tahu tentu berbeda caranya dengan menegur orang yang tahu tetapi sengaja berbuat salah. Riwayat berikut ini menuturkan dengan jelas apa yang terjadi pada Muawiyah ibn Al-Hakam al-Salami ketika ia datang ke Madinah setelah melewati padang pasir. Ia tidak tahu bahwa ketika mendirikan shalat, seseorang tak boleh bicara. Berikut ini penuturannya secara lengkap :


"Ketika aku melaksanakan shalat dibelakang Rasulullah, seseorang bersin sehingga aku berucap Yarhamukallaah--semoga Allah mengasihimu. Orang-orang disekitarku berpaling dan memelototiku. Aku bertanya, 'ada apa ini? mengapa kalian melihatku dengan tatapan seperti itu? apa yang salah denganku? Namun aku melihat mereka menepuk paha dan memberi isyarat agar aku diam. Karena itu aku berhenti bicara. Selesai mengerjakan shalat, Rasulullah SAW--ayah dan ibuku menjadi tebusan, belum pernah aku melihat seorang guru yang lebih baik darinya tidak langsung menegur, memukul atau mempermalukanku dihadapan para sahabat. Rasulullah berkata singkat, "ketika melaksanakan shalat, seseorang tak dibolehkan berbicara ; hanya tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur'an". Shahih Muslim.



Orang yang bodoh harus diberi tahu, orang yang ragu-ragu harus diberi penjelasan, orang yang lalai perlu diperingatkan, dan orang keras kepala yang mempertahankan kesalahannya harus diperingatkan. Menegur seseorang yang mengetahui aturan harus dibedakan dengan menegur orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Menegur seorang yang bodoh dengan cara yang kasar hanya akan membuatnya merasa rendah diri. Ia tidak akan mengikuti nasihat yang kita sampaikan. Kepada orang seperti itu kita harus bersikap sopan, bijak, lembut, dan penuh pertimbangan. Ia melakukan kesalahan bukan karena sengaja, melainkan karena tidak tahu. Jika kita langsung menegur dan menyalahkan orang yang tidak tahu, mungkin ia akan menjawab, "kenapa kau tidak mengajariku lebih dahulu sebelum menyalahkanku?"


Orang yang melakukan kesalahan karena tidak tahu mungkin berpikir bahwa ia benar sehingga orang yang hendak menegur atau memberinya peringatan harus bertindak bijak. Imam Ahmad r.a meriwayatkan dalam al-Musnad dari al-Mughirah ibn Syu'bah bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menyantap beberapa hidangan kemudian mendirikan shalat. Rasulullah telah berwudhu sebelum menikmati hidangan itu sehingga ia tak perlu lagi berwudhu. Al-Mughirah membawakan air kepadanya untuk berwudhu, namun Rasulullah menolaknya dan berkata, "pergilah!"


Al-Mughirah menemui Umar dan menceritakan pengalamannya seraya menyebutkan bahwa ia merasa kecewa. Kemudian Umar menemui Rasulullah dan berkata, "wahai Rasul, al-Mughirah merasa kecewa oleh penolakanmu. Ia khawatir engkau marah kepadanya karena suatu alasan".


Rasulullah SAW menjawab, "tidak apa-apa. Aku tidak marah. Ia membawakan air kepadaku untuk berwudhu dan aku menolaknya, karena aku telah berwudhu sebelum makan. Jika aku menerimanya dan kemudian berwudhu, tentu umat akan meniru tindakanku". HR.Imam Ahmad.

Maksudnya, orang-orang yang melihatnya tentu akan berpikir bahwa setelah makan harus berwudhu kembali.


Teguran dan peringatan yang disampaikan Rasulullah SAW kepada para sahabat terkemuka itu tidak berdampak buruk. Mereka tidak merasa tersinggung, sakit hati, apalagi kemudian menjauh dan menghindari Rasulullah. Tindakan Rasulullah itu justru berakibat positif kepada para sahabat. Ketika Rasulullah menegur atau memperingatkan dengan cara yang agak keras, para sahabat justru merasa khawatir telah menyakiti hati Rasulullah. Mereka akan terus bertanya-tanya sampai ada kepastian bahwa Rasulullah merasa ridha dan tidak marah kepada mereka.


Dari riwayat diatas, kita bisa memahami bahwa ketika Rasulullah SAW menegur al-Mughirah, ia tidak marah kepadanya. Ia senantiasa mengingatkan dan menjelaskan berbagai persoalan syariat secara gamblang kepada umatnya. Nabi SAW tidak pernah memaksakan sesuatu kepada umatnya dan selalu memberikan jalan yang paling mudah. Karena itulah ia mengajarkan kepada umatnya agar mempermudah suatu urusan. Kewajiban syariat harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuan setiap orang.


Kita juga harus membedakan penyikapan kita terhadap kesalahan yang disebabkan oleh upaya untuk menemukan kebenaran (ijtihad) dan kesalahan yang dilakukan secara serampangan, dilakukan secara sengaja, atau karena tidak tahu. Orang yang melakukan kesalahan ketika berijtihad, ia tak bisa disalahkan. Bahkan, ia akan mendapat satu pahala jika ijtihadnya salah selama ijtihadnya dilandasi oleh niat yang tulus untuk mencari kebenaran. Nabi Muhammad SAW bersabda, "jika seorang hali hukum berusaha keras menghasilkan keputusan yang benar, dan keputusannya benar maka ia mendapatkan dua pahala. Jika keputusannya salah, ia mendapatkan satu pahala".HR.Al-Tirmidzi.



Kasusnya berbeda dengan orang yang melakukan kesalahan secara sengaja atau karena tidak tahu. Dalam kasus yang pertama, orang itu harus ditegur dan diperingatkan, sementara pada kasus kedua, ia harus diajari dan dinasihati. Namun, tidak semua orang bisa berijtihad untuk mencapai kesimpulan hukum. Kesalahan yang dilakukan dalam ijtihad bisa dimaafkan jika memang orang itu layak dan memiliki kemampuan yang memadai untuk berijtihad. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tidak dapat melakukan ijtihad atau memberikan fatwa hukum. Karena itulah Rasulullah sangat mencela orang yang melakukan kesalahan ketika ada seseorang yang terluka kepalanya. Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir r.a bahwa suatu ketika Jabir dan beberapa sahabat pergi ke suatu tempat. Kepala salah seorang diantara mereka terluka karena lemparan batu. Lukanya itu terus mengeluarkan darah. Setelah beberapa lama ia jatuh tidur dan saat bangun, ia merasa harus mandi wajib. Ia bertanya kepada kawan-kawannya, "dengan luka yang kuderita ini, bolehkan aku bertayamum sebagai pengganti mandi wajib?"


Teman-temannya menjawab, "kami kira kau tidak berhak mendapat keringanan karena disekitar kita masih ada air". Berdasarkan pendapat mereka, laki-laki itu melakukan ghusl (mandi wajib), namun tak lama kemudian ia meninggal.


Ketika Jabir dan para sahabat lain pulang ke Madinah, mereka segera menemui Rasulullah dan menceritakan peristiwa tersebut. Mendengar penuturan mereka, Rasulullah bersabda, "mereka telah membunuhnya. Mudah-mudahan Allah membunuh mereka! Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu?! Obat bagi orang yang tidak tahu adalah bertanya". Sunan Abi Dawud.


Dalam riwayat lain Rasulullah menuturkan bahwa ada 3 kelompok hakim. Satu diantara mereka masuk ke surga, dan dua lainnya masuk ke neraka. Hakim yang akan masuk ke surga adalah yang mengetahui kebenaran dan memutuskan suatu perkara sesuai dengan kebenaran yang diketahuinya itu. Orang yang mengetahui kebenaran tetapi memutuskan perkara secara tak adil, dan hakim yang memutuskan perkara tanpa mengetahui kebenarannya, niscaya keduanya akan masuk ke neraka. Sunan Abi Dawud.

Hakim yang paling buruk adalah golongan yang ketiga, karena ia bodoh dan menyesatkan.



Faktor lain yang perlu dipertimbangkan ketika menegur atau memperingatkan seseorang yang melakukan kesalahan adalah lingkungan tempat orang itu berbuat salah. Misalnya, kita harus memperhatikan apakah orang itu melakukan kesalahan di lingkungan yang orang-orangnya taat mengikuti sunnah, ataukah di lingkungan yang sarat dengan bid'ah. Kita juga harus memperhatikan bagaimanakah peristiwa itu terjadi dan apa yang menjadi penyebabnya ; apakah kesalahan itu dilakukan oleh orang biasa ataukah orang terhormat yang pendapatnya didengar dan diikuti banyak orang. Dengan begitu, kita bisa mencari cara dan teknik yang paling tepat untuk menegur atau memperingatkan seseorang.


Siapapun, baik orang terhormat maupun rakyat jelata, jika ia melakukan kesalahan, ia pantas ditegur dan diperingatkan. Hanya saja, cara atau metode untuk menegur masing-masing berbeda-beda. Bahkan, meskipun ada orang yang melakukan kesalahan dan kelakuannya itu dilandasi dengan niat atau tujuan yang baik, ia tetap harus ditegur.



Amr ibn Yahya meriwayatkan dari ayahnya bahwa kakeknya bercerita, "suatu ketika kamu berada didepan rumah Abdullah ibn Mas'ud menjelang waktu subuh.  Kemudian kami pergi bersama-sama menuju masjid. Ditengah perjalanan, Abu Musa al-Anshari yang ikut bersama kami berkata, 'apakah Abu Abdurrahman sudah datang?'

Kami menjawab, 'belum".

Ia duduk bersama kami sampai ia (Abu Abdurrahman) muncul. Ketika ia datang, kami berdiri menyambutnya dan Abu Musa berkata kepadanya, "wahai Abu Abdurrahman, aku melihat di masjid sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tetapi alhamdulillah, apa yang kulihat itu sesuatu yang bagus".

Abu Abdurrahman bertanya, 'apakah yang kau lihat itu ?'

Ia menjawab, 'jika kau menunggu beberapa saat, kau akan melihatnya sendiri. Aku melihat orang-orang di masjid duduk dalam beberapa lingkaran menunggu waktu shalat tiba. Pada setiap lingkaran itu ada seorang laki-laki yang memimpin. Semua orang dalam lingkaran itu menggenggam tasbih. Ketika pemimpin itu berkata, "ucapkanlah Allahu Akbar seratus kali", semua orang yang ada dilingkaran mengucapkan Allahu Akbar seratus kali. Ketika laki-laki itu berkata, "ucapkanlah La ilaha Illallah seratus kali", mereka mengucapkan la ilaha illallah seratus kali. Kemudian ia berujar, "ucapkanlah subhanallah seratus kali", dan mereka mengucapkan subhanallah seratus kali'.


Abu Abdurrahman berkata, 'lalu apakah yang kau katakan kepada mereka?'

Abu Musa menjawab, 'aku tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Justru saat ini aku menunggu kedatanganmu untuk menyanyakan pendapatmu mengenai mereka dan aku ingin tahu apa yang sebaiknya harus dilakukan?'

Abu Abdurrahman berkata, 'mengapa tidak kau katakan kepada mereka agar menghitung keburukan dan kesalahan mereka sehingga semua kebaikan yang mereka lakukan tidak menjadi sia-sia?'


Kemudian Abu Abdurrahman beranjak pergi menuju masjid dan kami mengikutinya. Setibanya disana, ia melihat lingkaran orang-orang itu dan ia berdiri di dekat mereka, lalu berkata, 'apakah yang sedang kalian kerjakan?'

Mereka menjawab, 'wahai Abu Abdurrahman, tasbih ini kami pergunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih kami'.

Abu Abdurrahman berkata, 'hitunglah keburukan dan kesalahan kalian agar perbuatan baik kalian tidak menjadi sia-sia. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad, betapa cepat kalian beranjak menuju kehancuran! Para sahabat Muhammad masih hidup, pakaiannya pun belum lagi hancur, dan cangkirnya belum lagi pecah. Demi Zat yang menguasai jiwaku, tindakan kalian ini entah karena kalian mengikuti jalan yang lebih baik dari pada jalan Muhammad, ataukah karena kalian telah membuka pintu menuju kesesatan?'

Mereka menjawab, 'Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman, kami hanya ingin berbuat baik.'

Abu Abdurrahman kembali berkata, 'berapa banyak orang yang ingin melakukan kebaikan tetapi mereka tak mendapatkan kebaikan! Rasulullah SAW mengatakan kepada kita bahwa ada orang yang membaca Al-Qur'an namun ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali tenggorokan yang kering. Demi Allah, aku tidak tahu, mungkin kebanyakan mereka adalah orang-orang seperti kalian.' Kemudian ia beranjak pergi meninggalkan mereka.


Amr ibn Salamah berkata, 'kelak, aku melihat kebanyakan orang dari lingkaran itu berperang untuk khawarij dalam perang Nahrawan'.


Riwayat itu menunjukkan bahwa perbuatan baik yang juga dilandasi oleh niat baik belum tentu dianggap baik dan akan menghasilkan kebaikan. Kaum muslimin yang berzikir sambil menunggu waktu shalat itu melakukan kebaikan dan berkeinginan untuk melakukan kebaikan. Namun, dimata Abu Abdurrahman, perbuatan mereka itu akan sia-sia jika mereka tak menghisab kesalahan dan keburukan yang selama ini mereka lakukan.Ucapan Amr ibn Salamah diakhir riwayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang mementingkan zikir tanap pernah melakukan evaluasi diri cenderung akan terjebak dalam kesesatan. Buktinya, Amr ibn Salamah melihat banyak diantara orang-orang yang ikut lingkaran zikir itu ternyata menjadi pengikut Khawarij yang berperang melawan pasukan Ali ibn Abi Thalib di Nahrawan. Kelompok Khawarij dikenal sebagai kaum muslimin puritan yang memaknai Al-Qur'an dan syariat secara harfiah. Mereka dengan mudah mengafirkan kelompok lain yang tidak sehaluan dengan mereka.


Hal lain yang harus diperhatikan ketika hendak menegur atau memperingatkan seseorang adalah bersikap adil dan tidak berat sebelah. Allah berfirman, "dan apabila kalian telah mengatakan (untuk menghakimi atau memberi kesaksian) maka hendaklah kalian berlaku adil". QS.Al-An'am[6]:152


Allah juga berfirman, "dan apabila menetapkan hukum diantara manusia, tetapkanlah dengan adil". QS.Al-Nisa[4]:58



Sikap itulah yang dipraktikkan dan senantiasa dijalankan Rasulullah kepada seluruh umatnya, termasuk para sahabat yang paling dicintainya. Faktor bahwa Usamah ibn Ziad adalah orang yang dicintai oleh Rasulullah dan putra orang yang dicintainya (Zaid ibn Haritsah) tidak menghalangi Nabi Muhammad SAW untuk menegurnya dengan keras ketika ia membela orang yang terkena hukuman (hudud). Aisyah r.a meriwayatkan bahwa orang-orang Quraisy mempermaslahkan seorang wanita yang mencuri pada masa Nabi Muhammad SAW, ia tepatnya pada hari Penaklukan Makkah. Mereka berkata, "siapa yang mau berbicara kepada Rasulullah SAW perihal perempuan itu? Siapakah yang berani bicara  kepadanya selain Usamah ibn Zaid, kekasih Rasulullah SAW?"


Perempuan itu dihadapkan kepada Rasulullah SAW dan Usamah ibn Zaid berbicara kepadanya mengenai perempuan itu. Muka Rasulullah SAW berubah merah dan ia berkata keras, "apakah kau akan mencela hukum yang telah ditetapkan oleh Allah?"

Usamah berkata, "mohonkanlah ampunan untukku, wahai Rasulullah."

Ketika malam tiba, Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah dihadapan orang-orang. Setelah memuji Allah dengan segenap pujian yang layak untuk-Nya, Rasulullah bersabda, "umat yang datang sebelum kalian dibinasakan karena jika seorang pembesar mencuri, mereka membiarkannya. Namun, jika ada rakyat jelata yang mencuri, mereka menghukumnya. Demi Zat yang menguasai jiwaku, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku pati akan memotong tangannya'. Setelah itu, Rasulullah memerintahkan untuk memotong tangan wanita yang telah mencuri itu". HR.Al-Bukhari & Muslim.


Al-Nasa'i meriwayatkan bahwa Aisyah r.a berkata, "seorang perempuan meminjam perhiasan dan ia mengaku bahwa perhiasan itu ia pinjamkan kepada orang lain. Padahal, ia menjual perhiasan itu dan menyimpan uangnya. Perempuan itu dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Keluarganya mendatangi Usamah ibn Zaid dan memintanya agar berbicara kepada Rasulullah SAW memohon ampunan bagi perempuan itu. Ketika Usamah datang dan berbicara, muka Rasulullah SAW berubah merah lalu berkata, "apakah kau ingin mempersoalkan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah?'

Dengan suara yang bergetar karena takut, Usamah menjawab, 'mohonkanlah ampunan untukku, wahai Rasulullah.'

Ketika malam tiba, Rasulullah SAW berdiri dan berkhutbah dihadapan orang-orang. Setelah memuji Allah dengan segenap pujian yang layak untuk-Nya, Rasulullah bersabda, "umat yang datang sebelum kalian dibinasakan karena jika seorang pembesar diantara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Namun , jika ada rakyat jelata yang mencuri, mereka menghukumnya. Demi Zat yang menguasai jiwaku, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku pasti akan memotong tangannya. Sunan Al-Nasa'i.


Sikap Muhammad kepada Usamah r.a menunjukkan  bahwa ia senantiasa berlaku adil dan tegas. Keadilan dan ketetapan syariat lebih ia dahulukan ketimbang rasa cinta dan sayangnya kepada seseorang. Mungkin seseorang akan menerima dan membiarkan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dicintainya. Namun, ia tak punya hak untuk menoleransi atau menghapus kesalahan orang yang melewati batas atau melanggar hukum Islam.


Kadang-kadang ketika seorang anggota keluarga, kerabat, atau teman berbuat salah, kita membiarkannya dan tidak menegurnya. Kita berpandangan seakan-akan ia melakukan kesalahan itu karena tidak sengaja atau karena tidak tahu. Tindakan kita mungkin berbeda seandainya yang melakukan kesalahan itu adalah seseorang yang sama sekali tidak kita kenal. Sikap seperti itu menunjukkan kecenderungan kita pada penyimpangan dan diskriminasi. Seseorang sangat mungkin menutup mata terhadap kesalahan yang dilakukan kawannya, namun mengkritik habis-habisan kesalahan yang dilakukan orang lain.


Peribahasa Arab mengatakan, "jika menyukai seseorang, kau tidak akan melihat kesalahannya. Sebaliknya, jika membenci seseorang, kau akan melihat semua kesalahannya".


Kecenderungan untuk bias dan bersikap berat sebelah mungkin saja kita tunjukkan dengan cara lain, seperti dengan menafsirkan suatu tindakan secara tidak tepat.Tindakan sama yang dilakukan oleh orang yang kita cintai dan orang yang tidak kita kenal, sangat mungkin ditafsirkan dengan cara yang berbeda.


Sikap-sikap seperti itu dapat kita terapkan jika situasi lingkungannya sama. Jika berbeda, kita membutuhkan pertimbangan-pertimbangan lain sebagaimana yang akan kita bahas dibawah ini.



Kadang-kadang kita mesti mengabaikan kesalahan kecil yang dilakukan seseorang demi kepentingan yang lebih besar. Atau, kita mesti membiarkan kesalahan kecil untuk membendung terjadinya kesalahan yang lebih besar. Ketika dihadapkan pada dua pilihan, antara kesalahan yang lebih kecil dampak buruknya dan kesalahan yang lebih besar dampak buruknya, kita mesti memilih kesalahan yang lebih kecil dampak buruknya.


Sebagai contoh, kita melihat dalam sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW membiarkan orang munafik dan tidak memerangi mereka meskipun keburukan dan kejahatan mereka tak terbantahkan. Rasulullah menghadapi hinaan, kecaman dan keburukan mereka dengan sabar. Ia tak mau orang-orang mengatakan, "Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya". Ucapan Nabi Muhammad itu dikatakan ketika Umar ibn Al-Khattthab merasa gerah dan kesal melihat tingkah laku Abdullah ibn Ubay, pemimpin kaum munafik. Beberapa kali ia menyebarkan fitnah dan mengganggu kedamaian kaum muslimin. Tidak hanya Umar, banyak sahabat lain, dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang kesal kepada Ibn Ubay. Karena itu, pada suatu ketika, setelah terjadi perselisihan antara golongan Muhajirin dan Anshar akibat fitnah yang disebarkan Ibn Ubay, Umar ibn Al-Khatthab meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk membunuh Ibn Ubay. Tidak hanya Umar yang meminta izin untuk membunuhnya, beberapa sahabat Anshar, bahkan salah seorang putra Ibn Ubay pun meminta izin untuk membunuhnya. Namun, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, Nabi menolak permintaan mereka dan mengatakan, "aku tak mau orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabt-sahabatnya".


Abdullah ibn Ubay dibiarkan hidup dan berkeliaran karena tak semua orang Madinah mengetahui karakter asli dedengkot munafik itu.


Sama halnya, Nabi Muhammad SAW tidak menghancurkan Ka'bah untuk membangunnya kembali diatas fondasi yang diletakkan oleh Ibrahim a.s karena mempertimbangkan keimanan orang Quraisy yang masih labil dan lemah. Karakter dan jiwa mereka masih dekat dengan kejahiliyahan. Rasulullah SAW khawatir, jika Ka'bah dibongkar dan dipindahkan keatas fondasi Ibrahim a.s, mereka akan kembali kedalam kekafiran. Karena itu, ia tetap membiarkan bangunan itu sebagaimana adanya dan hanya melakukan sedikit perubahan pada bagian pintunya.


sebelum itu, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk tidak menghina tuhan-tuhan kaum musyrik, karena hal itu akan menyebabkan mereka menghina tuhan. Syirik yang dilakukan kaum musyrik tentu saja merupakan kezaliman yang harus diluruskan atau dibersihkan. Namun, penghinaan kepada Allah merupakan kezaliman yang sangat besar. Karena itulah kaum muslim diminta untuk tidak menghina tuhan-tuhan kaum musyrik agar mereka tidak menghina Allah, Tuhan seluruh alam semesta.


Seorang dai atau pendidik mungkin dapat mendiamkan perbuatan salah yang dilakukan seseorang, tak langsung menegurnya, atau mengubah gaya pendekatannya jika dengan cara itu ia bisa menghindari kesalahan atau dosa yang lebih besar. Sikap seperti itu tidak dianggap salah atau ceroboh selama dilandasi oleh niat yang baik dan tulus, serta tak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Ia mengambil langkah seperti itu bukan karena takut kepada manusia, melainkan demi kepentingan Islam, yakni agar seseorang atau umat Islam terlepas dari keburukan atau dosa yang lebih besar. Perlu diperhatikan, orang yang berbuat salah cenderung melakukan kesalahan yang lebih besar jika ia merasa sakit hati atau tersinggung oleh orang yang menegurnya. Kedengkian dan kecemburuan sering menjadi penyebab seseorang melakukan kejahatan yang lebih besar.


Sikap berikutnya yang mesti dperhatikan saat kita hendak menegur atau menasihati seseorang adalah memahami watak dan kepribadian orang yang berbuat salah. Ada beberapa kesalahan atau keburukan yang tidak bisa dihilangkan karena kesalahan itu berhubungan dengan kodrat penciptaan manusia. Mungkin kesalahan itu bisa dikurangi sedikit demi sedikit, namun upaya untuk menghilangkannya secara sekaligus akan berakibat fatal. Misalnya, kesalahan atau keburukan yang berkaitan dengan perempuan. Rasulullah SAW bersabda, "perempuan diciptakan dari tulang rusuk, dan sikapnya kepadamu tidak akan konsisten. Jika kau membiarkannya, ia akan semakin bengkok, dan jika kau meluruskannya, kau akan mematahkannnya. Patahnya seorang perempuan adalah perceraiannya". HR.Muslim.


Dalam riwayat lain dikatakan, "sayangilah kaum wanita, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian tulang rusuk yang paling mudah patah adalah ujungnya. Jika kau mencoba meluruskannya, kau akan mematahkannya, ia akan semakin bengkok. Karena itu, sayangilah kaum wanita". HR.Al-Bukhari.


Ibn Hajar r.a berkata, "Ungkapan perlakukanlah wanita dengan lemah lembut menunjukkan bahwa kau harus memperlakukannya dengan benar. Sebab, jika kau berkukuh meluruskannya, kau akan mematahkannya, dan jika kau membiarkannya, ia akan menjadi semakin bengkok. Hadist ini memberi pelajaran bahwa kita tak boleh membiarkannya bengkok ketika ia keluar dari batas-batas alamiah, melakukan dosa, atau melalaikan kewajiban. Dengan kata lain, kita bisa saja membiarkannya jika apa yang dilakukannya tidak menyimpang atau bertentangan dengan syariat. Hadist ini juga memberi kita pelajaran bahwa pendekatan yang lembut akan membuka dan melunakkan hati perempuan. Pelajaran lainnya, ketika memperlakukan perempuan, kita harus mengikuti kecenderungan mereka dan menghadpi kebengkokan mereka dengan sabar. Dengan sikap dan pendekatan yang tepat, seorang perempuan tidak akan merasa tersakiti ketika ditegur atau dinasihati. Orang yang bersikukuh berusaha meluruskan perempuan tidak akan mendapatkan kebaikan dari upayanya itu selain kerusakan. Selain itu, seorang laki-laki akan senantiasa membutuhkan perempuan yang menemani dan mendukungnya sepanjang hidup. Karena itu, dibutuhkan kesabaran dan pendekatan yang lembut untuk menikmati hidup bersama seorang perempuan.". HR.Al-Bukhari.


Kita juga harus membuat perbedaan antara kesalahan ynag melewati batas-batas Islam dan kesalahan yang hanya berdampak pada seseorang. Jika kita mencintai Islam melebihi kecintaan kita pada diri sendiri maka kita harus membela dan menjaganya. Kita harus marah kepada orang yang merugikan Islam melebihi kemarahan kita kepada orang yang merugikan diri kita sendiri. Seseorang dianggap tidak memiliki rasa keislaman jika ia marah ketika kepentingannya diganggu, tetapi ia tidak melakukan apa-apa ketika keagungan atau kesucian Islam dinodai. Kebanyakan kita saat ini mungkin akan membela Islam tidak sepenuh hati dan dengan cara-cara yang memalukan.


Nabi Muhammad SAW sering kali memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, terlebih lagi jika mereka adalah orang Badui yang keras kepala dan tidak tahu adat. Ia melakukan semua itu untuk melembutkan hati mereka. Al-Bukhari r.a meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Anas ibn Malik menuturkan, "aku sedang berjalan bersama Rasulullah yang saat ituv mengenakan jubah Najrani dengan kerah yang kaku. Seorang badui menyapanya, menggenggam  kerah jubahnya dengan kasar sehingga meninggalkan bekas dileher Nabi Muhammad SAW. Badui itu berkata, 'Hai Muhammad! Berikanlah aku harta Allah yang engkau miliki!' Rasulullah SAW tersenyum kepadanya, lalu menyuruhku untuk memberikan sesuatu kepada orang Badui itu". HR.Al-Bukhari.


Sikap Rasulullah akan berbeda jika kesalahan itu berkaitan dengan masalah agama. Ia akan marah jika seseorang merendahkan atau mengabaikan ajaran agama. Ia marah bukan karena dorongan nafsu atau rasa benci, melainkan karena Allah SWT. Banyak contoh demikian yang dapat kita temukan dalam ktiab-kitab hadist. Hal lain yang mesti diperhatikan ketika kita hendak mengingatkan atau menegur seseorang adalah membuat perbedaan antara kesalahan kecil atau sepele dan kesalahan besar; atau dalam peristilahan syariat, antara dosa kecil dan dosa besar. Kedua bentuk kesalahan itu harus disikapi secara berbeda. Selain itu, kita juga harus memperhatikan apakah orang yang berbuat salah itu dikenal sebagai orang yang selalu berbuat baik sehingga kesalahannya itu tidak begitu kentara atau memengaruhi dirinya, ataukah orang yang sering berbuat jahat? Banyak orang yang mungkin tidak mempersoalkan kesalahan kecil yang dilakukan oleh seseorang yang dikenal sebagai orang baik. Namun, mereka tidak akan memaafkan orang yang selalu atau sering melakukan kesalahan atau dosa. Riwayat berikut ini dapat menjadi contoh. Asma binti Abu Bakar menuturkan :


"Kami berangkat bersama Rasulullah SAW sebagai jamaah haji. Ketika kami tiba al-'Arj, Rasulullah berhenti untuk istirahat dan kami ikut berhenti. Aisyah duduk disamping Rasulullah dan aku duduk disamping ayahku. Sementara itu, seorang budak menjaga hewan tunggangan Abu Bakar dan Rasulullah SAW. Abu Bakar duduk menunggu Rasulullah bangkit kembali  untuk melanjutkan perjalanan. Ketika rasulullah telah siap berangkat, Abu Bakar tidak melihat unta yang akan membawanya. Abu Bakar bertanya kepadda budaknya, 'dimanakah unta Rasulullah itu?'


Budak itu menjawab, 'unta itu hilang kemarin.'


'Seekor unta, dan kau menghilangkannya?' tanya Abu Bakar sambil memukul budak itu. Menyaksikan kelakuan sahabatnya itu, Rasulullah tersenyum dan berkata, 'lihatlah yang dilakukan muhrim (orang yang sudah berihram untuk haji) ini."


Ibn Abi Rizmah menuturkan, "Rasulullah tidak melakukan apa-apa kecuali tersenyum dan berkata, 'lihatlah apa yang dilakukan muhrim ini." HR.Abu Dawud.


Rasulullah tidak melakukan apa-apa untuk menegur Abu Bakar yang marah dan memukul budaknya padahal ia telah mengenakan pakaian ihram untuk menjalankan ibadah haji. Rasulullah tidak menegurnya dengan keras karena mengetahui watak sahabatnya itu. Abu Bakar adalah sahabat yang paling dipercaya dan dicintai oleh Rasulullah karena kejujuran, kebaikan, kesetiaan, dan kedermawanannya. Kesalahan kecil itu tsk memengaruhi kebaikan dan ketaqwaannya. Mungkin Abu Bakar memarahi dan memukul budaknya itu karena ia menghilangkan hewan tunggangan Rasulullah SAW, orang yang sangat ia cintai dan ia muliakan.


Selain harus bersikap adil dan tegas ketika menyampaikan teguran atau nasihat, ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan, diantaranya :


* Kita harus membedakan antara orang yang berbuat salah terus-

  menerus dan orang yang pertama kali berbuat salah.

* Kita harus membedakan antara orang yang sering berbuat salah 

  dan orang yang jarang berbuat salah.

* Kita harus membedakan antara orang yang berbuat salah secara 

  terbuka atau terang-terangan, dan orang yang berusaha menutupi
  kesalahannya.

* Kita juga harus memperhatikan watak dan keberislaman seseorang

  sehingga teguran atau nasihat yang kita sampaikan tidak
  membuatnya berpaling dari Islam. Karenanya, kita harus bersikap
  bijak dan lebih lembut kepada orang yang belum kuat
  keislamannya dan keimanannya, seperti seorang mualaf atau orang
  yang sebelumnya dikenal sering melakukan kesalahan. Sikap keras
  dan tegas mungkin akan membuatnya semakin jauh dari Islam.

* Kita juga harus mempertimbangkan kedudukan atau otoritas yang

  dimiliki seseorang sehingga kita bisa menyampaikan teguran
  dengan pendekatan yang efektif.


Sikap dan pertimbangan yang sama harus kita perhatikan saat menghadapi anak kecil. Bisa jadi, menegur atau menasihati anak kecil akan lebih rumit dibanding menasihati orang dewasa. Sebab, anak kecil melakukan kesalahan karena berbagai sebab, baik karena tidak tahu, nakal, coba-coba, atau sebab-sebab lainnya. Karena itu, menegur anak kecil yang berbuat salah harus dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan usianya. al-Bukhari r.a meriwayatkan bahwa al-Hasan ibn Ali mengambil sebutir kurma dari tumpukan kurma yang diberikan untuk zakat dan meletakkannya dimulutnya. Nabi Muhammad SAW berkata, "kakh, kakh (isyarat agar al-Hasan memuntahkannya), tahukah kau bahwa kita tidak boleh memakan zakat?"HR.Al-Bukhari.



Al-Thabrani r.a meriwayatkan dari Zainab binti Abi Salamah bahwa ketika masih kecil, ia masuk rumah Nabi Muhammad SAW dan tanpa sengaja melihatnya sedang mandi. Berikut ini penuturannya, "Rasulullah mengambil segayung air dan menyiramkannya kepadaku seraya berkata, 'pergilah, gadis bodoh!" Al-Mu'jam al-Kabir.


Riwayat itu memberi kita pelajaran bahwa kita harus menegur orang yang melakukan kesalahan meskipun itu dilakukan oleh anak kecil.Jika seorang anak kecil melakukan kesalahan dan kemudian ia dibiarkan tnapa teguranatau nasihat, tentu pengalaman itu akan tersimpan dalam memorinya dan ia berpikir bahwa apa yang dilakukannya itu bukanlah kesalahan. Hadist yang pertama menunjukkan bagaimana seorang anak diajari agar takut kepada Allah dan mengendalikan dirinya. Hadist yang kedua menunjukkan bagaimana seorang anak diajari sopan santun dan etika, seperti bagaimana seharusnya meminta izin sebelum memasuki rumah orang dan tentang keharusan menahan diri dari melihat aurat.


Cerita Umar ibn Abi Salamah memberi ktia contoh lain tentang bagaimana seharusnya mengajari anak-anak. Al-Bukhari meriwayatkan dari Umar ibn Abi Salamah bahwa ia berkata, "aku adalah seorang anak kecil dibawah asuhan Rasulullah. Suatu ketika, saat kami makan, aku mengacak-acak makanan dari satu piring ke piring lainnya. Melihat tingkahku, Rasulullah berkata, 'hai anak kecil! Bacalah Basmalah. Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang ada dihadapanmu'. Ucapan Rasulullah itu memberiku pelajaran tentang cara makan yang seharusnya". HR.Al-bukhari.


Dalam riwayat ini Rasulullah mengajari kita cara yang efektif untuk menegur atau mengajarkan kebaikan kepada anak kecil yang berbuat salah. Rasulullah menegur mereka dengan kata-kata yang jelas, ringkas dan tegas sehingga anak-anak kecil itu akan mengingatnya sepanjang hidup mereka.


Sikap bijaksana dan hati-hati harus senantiasa kita terapkan ketika menegur atau menasehati seseorang, terlebih lagi ketika menegur seorang wanita yang bukan mahram. Kehati-hatian harus dijaga agar kita terhindar dari fitnah atau godaan setan, dan supaya nasihat kita tidak disalah pahami. Seorang laki-laki yang masih muda tidak boleh mempergunakan alasan apapun untuk menasihati atau mengajari seorang pemudi. Tindakan seperti itu lebih sering menuntun seseorang pada fitnah. Jika kita ingin menegur atau menasihati wanita bukan mahram yang melakukan kesalahan, lebih baik kita menyerahkan urusannya kepada pihak yang lebih berwenang, baik kepada keluarganya ataupun kepada polisi syariat. Jika kita hendak menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, kita harus melakukannya dengan penuh pertimbangan sehingga tindakan kita benar-benar bermanfaat dan tidak menimbulkan bencana. Jika, setelah dipertimbangkan, teguran kita akan membawa hasil dan mengubah perilaku seorang wanita yang berbuat salah, kita dapat melakukannya. Namun, jika itdak, dan kita berpikir bahwa tindakan itu cenderung mengakibatkan keburukan, lebih baik kita diam dan menahan diri. Sangat mungkin ia atau orang lain salah memahami tindakan kita sementara si pelaku tetap melakukan kesalahannya. Keadaan masyarakat secara umum dan kedudukan orang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran memainkan peranan penting dalam penasihatan. Riwayat berikut ini bisa jadi contoh yang baik untuk kita pertimbangkan. 


Ubaid, budak Abu Raham yang telah dimerdekakan, meriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Hurairah bertemu dengan seorang perempuan yang memakai minyak wangi berjalan menuju mesjid. Abu Hurairah bertanya, "wahai hamba Allah, hendak pergi kemanakah engkau?"

Wanita itu menjawab, "ke mesjid."

"Dan kau memakai parfum ke mesjid?"

"Ya."

"Aku mendengar Rasulullah bersabda, "jika seorang wanita memakai minyak wangi kemudian pergi ke mesjid maka Allah tidak menerima shalatnya sampai ia menyucikan diri (ghusl)." HR. Ibnu Majah.


Kita juga harus memperhatikan beberapa hal berikut :


* Semestinya kita tidak menyibukkan diri dengan menunjukkan

  kebenaran atau nilai-nilai kebaikan sementara kita mengabaikan
  penyebab seseorang melakukan kesalahan.

* Kita pun tak boleh melebih-lebihkan kesalahan yang dilakukan

  seseorang.

* Kita jangan sampai berusaha membuktikan secara berlebihan

  kesalahan yang dilakukan seseorang atau memaksanya mengaku
  telah berbuat salah.

* Seyogyanya kita memberikan cukup waktu kepada pelaku kesalahan

  untuk mengubah kelakuannya, terutama kepada orang yang sekian
  lama terbiasa melakukan kesalahan. Kendati demikian, kita harus
  terus membimbing dan menasihatinya agar ia berubah.

* Tak semestinya kita membuat seseorang yang melakukan kesalahan

  merasa bahwa kita memusuhinya. Sebab, teguran dan nasihat di
  sampaikan untuk mendukung seseorang, bukan melawan atau 
  memusuhinya.


Dikutip dari bukunya "Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar