Senin, 13 Februari 2012

JANGAN BERSEDIH, NIKMATILAH RASA SAKIT.

Banyak muslimah menganggap bahwa rasa sakit adalah segala-gala penderitaan yang tidak sepantasnya terulang terjadi. Rasa sakit ini bahkan bagi sebagian kita telah menjadi momok menakutkan saat kembali mengingatnya. Dalam bukunya,"La Tahzan", aidh al-Qarni menjelaskan dengan gamblang mengenai nikmatnya rasa sakit.

Aidh al-Qarni menegaskan dengan cerdas bahwa rasa sakit tidak selamanya tak berharga, sehingga harus selalu dibenci. Sebab, mungkin saja rasa sakit itu justru akan mendatangkan kebaikan bagi seseorang. Bisanya, ketulusan sebuah doa muncul tatkala rasa sakit mendera. Demikian pula dengan ketulusan tasbih yang senantiasa terucap saat rasa sakit terasa. Adalah jerih payah dan beban berat saat menuntut ilmulah yang telah mengantarkan seorang pelajar menjadi ilmuwan terkemuka.


Masih menurut al-Qarni bahwa usaha keras seorang penyair memilih kata-kata untuk bait-bait syairnya telah menghasilkan sebuah karya sastra yang sangat menawan. Ia, dengan hati, urat syaraf, dan darahnya, telah larut bersama kerja kerasnya itu, sehingga syair-syairnya mampu menggerakkan perasaan dan menggoncangkan hati.


Begitu juga dengan upaya keras seorang penulis telah menghasilkan tulisan yang sangat menarik dan penuh dengan 'ibrah, contoh-contoh dan petunjuk. Lain halnya dengan seorang pelajar yang senang hidup foya-foya, tidak aktif, tak pernah terbelit masalah, dan tidak pula pernah tertimpa musibah. Ia akan selalu menjadi orang yang malas, enggan bergerak, dan mudah putus asa.


Qarni juga menambahkan bahwa seorang penyair yang tidak pernah merasakan pahitnya berusaha dan tidak pernah mereguk pahitnya hidup, maka untaian qasidah-qasidah-nya hanya akan terasa seperti kumpulan kata-kata murahan yang tak bernilai. Sebab, qasidah-qasidahnya hanya keluar dari lisannya, bukan dari perasaannya. Apa yang dia utarakan hanya sebatas penalarannya saja, dan bukan dari hati nuraninya. 


Qarni memberi contoh bahwa pola kehidupan yang paling baik adalah kehidupan kaum mukminin generasi awal. Yaitu, mereka yang hidup pada masa-masa awal kerasulan, lahirnya agama, dan diawal masa perutusan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, hati yang baik, bahasa yang bersahaja, dan ilmu yang luas. Mereka merasakan keras dan pedihnya kehidupan. Mereka pernah merasa kelaparan, miskin, diusir, disakiti, dan harus rela meninggalkan semua yang dicintai, disiksa, bahkan dibunuh. Dan karena semua itu pula mereka menjadi orang-orang pilihan. Mereka menjadi tanda kesucian, panji kebajikan, dan simbol pengorbanan.


Al Mutanabbi, seperti yang dicontohkan Qarni misalnya, ia sempat mengidap rasa demam yang amat sangat sebelum berhasil menciptakan syair yang indah berikut ini:
"Perempuan yang mengunjungiku seperti memendam malu, ia hanay mengunjungiku digelapnya malam."


Syahdan, an-Nabighah sempat diancam akan dibunuh oleh Nu'man ibn al-Mundzir sebelum akhirnya mempersembahkan bait syair berikut ini:
"Engkau matahari, dan raja-raja yang lain bintang-bintang tatkala engkau terbit ke permukaan, bintang-bintang itupun lenyap tenggelam."


Oleh karena itu, tak usah bersedih bila anda harus bersusah payah, khususnya kaum muslimah, dan tak usah takut dengan beban hidup, sebab mungkin saja beban hidup itu akan menjadi kekuatan bagimu serta akan menjadi sebuah kenikmatan pada suatu hari nanti. Qarni menegaskan bahwa jika anda hidup dengan hati yang berkobar, cinta yang membara dan jiwa yang bergelora, akan lebih baik dan lebih terhormat dari pada harus hidup dengan perasaan yang dingin, semangat yangg layu dan jiwa yang lemah.


"Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:"tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu".QS.At-Taubah:46.


Qarni mencontohkan seorang penyair yang ia kagumi memiliki semangat hidup yang tinggi, dedikasi terhadap kehidupan yang tidak asal. Kehidupan baginya selalu punya makna. Dialah Malik ibn ar-Rayyib. Ia meratapi dirinya:


"Tidakkah kau lihat aku menjual kesesatan dengan hidayah dan aku menjadi seorang pasukan Ibnu Affan yang berperang alangkah indahnya aku, tatkala aku biarkan anak-anakku taat dengan mengorbankan kebun dan semua harta-hartaku wahai kedua sahabat perjalananku, kematian semakin dekat berhentilah ditempat tinggi sebab aku akan tinggal malam ini tinggallah bersamaku malam ini atau setidaknya malam ini jangan kau buat ia lari, telah jelas yang akan menimpa. Goreslah tempat tidurku dengan ujung gerigi dan kembalikan kedepan mataku kelebihan selendangku. Janganlah kau iru, semoga Allah memberkahi kau berdua dari tanah yang demikian lebar, semoga semakin luas untukku".


Demikianlah, ungkapan-ungkapannya demikian syahdu, penyesalan yang sangat berat diucapkan, dan teriakan yang memilukan. Itu semua menggambarkan betapa kepedihan itu meluap dari hati sang penyair yang mengalami sendiri kepedihan dan kesengsaraan hidup. Ia tak ubahnya seorang penasehat yang juga pernah merasakan apa yang ia ucapkan. Dan biasanya, perkataan atau nasehat orang seperti itu akan mudah masuk kedalam relung kalbu dan meresap kedalam ruh yang paling dalam. Semua itu adalah karena ia mengalami sendiri kehidupan pahit dan beban berat yang ia bicarakan.


"Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya". QS.Al-Fath:18.


"Jangan cela orang yang sedang kasmaran hingga belitan keras deritamu berada dalam derita dirinya".


Menurut Qarni, karya-karya yang demikian itu tak ubahnya dengan potongan-potongan es dan bongkahan-bongkahan tanah; dingin dan tawar. Semua itu, tak lain karena nasehat-nasehat itu tidak berucap dari mulut seseorang yang langsung pernah mengalami dan menghayati sendiri suatu kesedihan dan kesengsaraan.


"Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya". QS.Ali-Imran:176.


Agar ucapan dan syair anda dapat menyentuh hati pembacanya, masuklah terlebih dahulu kedalamnya. Sentuhlah, rasakanlah dan resapilah niscaya anda akan mampu memberikan sentuhan ketengah masyarakat.


"Kemudian apabila telah kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah". QS.Al-Hajj:5.


Wahai muslimah, tentulah penjelasan diatas bisa menjadi pelipur kita semua tentang bagaimana menikmati rasa sakit. Bahwa rasa sakit itu akan menjadi sahabat yang lama-lama, sebagai seorang sahabat maka ia tidak akan menyakiti meskipun namanya sudah terlanjur rasa sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar